Dua lembaga negara yang aktif dalam membawa para pelaku korupsi dan yang diduga melakukan tindak korupsi adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua lembaga ini memiliki kesamaan tanggung jawab dalam pemberantasan tipikor, namun memiliki perbedaan pendekatan dalam memerangi korupsi.
KPK umumnya melakukan
pendekatan 'keras', dimana tersangka korupsi terbukti tertangkap tangan, kemudian baru diajukan ke pengadilan. Dua contoh terakhir, Rudy Rubiandini dan Akil Mukhtar petinggi lembaga bergengsi, 'tertangkap basah' menerima 'gratifikasi' ratusan ribu dolar. Alat bukti jelas dan meyakinkan, baru kemudian di proses. Untuk kasus yang sifatnya agak "abu-abu" KPK butuh waktu yang agak lama untuk mengumpulkan bukti-bukti dan cenderung untuk lebih berhati-hati, sebagai contoh: Hambalang dan Century.
Sementara
kejagung mengandalkan pada laporan dari pihak lain (umumnya LSM atau perseorangan) dan kemudian mengembangkan kasus berdasarkan laporan tersebut tanpa melihat apakah terduga 'benar-benar' melakukan tindakan korupsi atau tidak. Kasus-kasus yang kita baca di media seperti, Bioremediasi Chevron, frekuensi IM2, Merpati, pengadaan spare part PLN medan dan terakhir kasus perumahan bupati.
KEMBALI KE ARTIKEL