Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Chapter 3 : Skak Mat

31 Mei 2013   13:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45 119 0


Terbangun karena tetesan hujan?


Adakah situasi yang lebih syahdu dari itu?


Jam tanganku masih menunjukkan pukul 05.45 tapi hujan sudah sedemikian derasnya, seakan-akan hujan kemaren belum cukup untuk ditumpahkan.


Maksud hati hendak mengutuk tapi tidak jadi karena teringat hari ini ada jadwal mengajar. Malah, harusnya aku berterima kasih pada ibu kontrakanku yang tak juga membetulkan genteng yang bocor, karena dengan tetesan hujan tak diundang tadi aku tidak terlambat ke sekolah (lagi).


Selalu ada alasan untuk memandang sesuatu menjadi lebih bermakna. Jika tidak, carilah terus sampai kita menemukan alasan itu.


Kata-kata yang sering kudengar dari Sulaiman, teman baruku disini yang tergila-gila dengan ide The Secret, buku karangan Rhonda Byrne dan buku-buku ala Noetics lainnya.


Aku mengenalnya dari seorang teman. Jadi dia adalah temannya temanku.


Sebagai seorang manager sebuah PO di Karawang, kehidupannya cukup lumayan. Tapi dia tidak bahagia dengan itu. Pun walau istrinya sudah 2 dan dua-duanya cantik-cantik.


Ada sesuatu yang hilang.


Dia sering bilang begitu. Aku dapat memahaminya. Karena perasaan itulah akhirnya aku cepat sekali akrab dengannya. Aku sudah merasakan rasa kehilangan akan cita rasa hidup sejak setahun yang lalu. Tetapi hingga saat inipun aku belum menemukan sesuatu yang hilang itu.
Rutinitaslah yang merenggutnya.

Setiap pagi harus berangkat ke kantor, memeriksa jadwal, laporan, melobi satu dua perusahaan, kadang-kadang musti menggunakan cara-cara diluar norma kepantasan untuk memenangkan proyek transportasi atau jemputan di perusahaan tersebut.


Selalu ada pihak yang menang dan yang kalah.

Untuk menjadi pemenang, harus ada pihak yang kalah. Walaupun hal itu wajar dalam persaingan bisnis, tetapi adakah cara yang lebih elegan untuk hidup dari pada hanya sekedar menjadi pemenang.


Bisakah kita menjadi pemenang tanpa menyisakan kepedihan di pihak yang kalah?


Mungkinkah?


Sampai saat inipun aku masih menganggap hidup seperti bermain catur.


Hei kamu!


Skak mat!


Aku gembira.


Pertanyaan Sulaiman sungguh rumit dan aku jelas menggeleng. Karena posisiku sendiri sekarang ini seperti bidak pion yang tepat berada di depan benteng musuh, tak bisa mencaplok tapi dengan mudah dapat dicaplok.


No idea.


Tetapi aku setuju bahwa ide seperti itu sungguh indah.


Cuma bagaimana?


Sepertinya hal itu masih menjadi utopia yang entah kapan Sulaiman dan aku akan menemukan jawabannya.


Aku menunggunya.....






Chapter 2 : Kisah Sebuah Kota

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun