Jiwa tertatih dalam gamang
Kutahu kau menyimpan
Seribu satu rasa yang tak mudah
Karena itu adinda
Kuyakinkan semuanya
Tak perlu bertanya
Aku pun tak akan sanggup
Bila kau terhalang awan
Karena lebih mudah bagiku
Meyakinkanku akan cintaku
Dari pada meyakinkanmu
Aku cinta kamu
Dan bukankah itu sudah aku
pahat di salah satu bagian dari gunung di selatan
Pandanglah
Ia ada disana, menunggumu
Untuk kau tambahkan satu kata lagi
Untukku
Semenjak menganggur, spiritualitas adalah masalah bagiku. Aku tidak lagi mempercayai prinsip-prinsip hidup yang sudah semenjak kanak-kanak diajarkan oleh kakek dan ustad-ustadku. Aku telah murtad, kata orang.
Entah dimulai sejak kapan.
Pertanyaan itu tidak penting.
Tapi orang kadang suka meributkan hal-hal yang tidak penting. Seperti temanku yang kemarin mampir selama 1 minggu disini. Dalam sehari mungkin tiga atau empat kali dia bertanya alasan kenapa aku tidak shalat lagi. Bukan tidak mau menjawab atau tidak bisa menjawab. Tapi apakah itu penting?
Kehidupan ini kehilangan substansi karena orang banyak meributkan hal-hal yang tidak penting. Yang miskin mengeluh karena tidak punya uang, yang kayapun mengeluh karena menurutnya ia tidak pernah bahagia. Setidaknya itulah yang sering aku lihat di sinetron.
Sinetron itu tidak penting.
Karena itu banyak disukai orang.
Aku bersiap-siap untuk mengerjakan sesuatu yang penting : mengajar.
Hal itu menjadi penting karena aku akan bertemu Nurhasanah.