Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bye Bye SBY

16 Februari 2012   17:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33 198 0
Bye bye SBY.  Selamat Jalan SBY.  Cukup sudah bangsa ini berjalan tanpa nakhoda. Bergerak tanpa arah. Melaju tanpa tujuan.  Puting beliung seakan tak mampu dihalau. Banjir dan longsor  seakan dibiarkan merusak dan menghancurkan dinding persatuan. Memporak-porandakan rumah yang sudah dibangun cukup lama. Perahu yang semula melaju, membawa jutaan impian, kini berada di tengah lautan. Terombang-ambing karena tak ada nakhoda yang berani ambil putusan.

Tidak apa jika harapan-harapan yang dulu sempat menggelombang, tak mampu dijalankan. Jika dulu ribuan janji disebar, gagal tumbuh menjadi benih yang mensejahterakan, tak apa jika memang ada kepastian kapan bibit itu kembali di tanam. Karena enam-tujuh tahun lalu hanya engkaulah yang mampu menyihir angan-angan dan impian dapat terwujud di tengah krisis dan kesengsaraan. Rakyat tidak pernah merasa tertipu karena sudah menyerahkan rahasia yang paling dalam; memilihmu menjadi seorang presiden. Mereka juga tidak pernah menyesal jika angan-angan yang dulu sempat disematkan seperti kembali padam.

Mereka adalah rakyat yang tak pernah henti berharap bahwa kelak akan lahir dari rahim mereka seorang pemimpin yang gagah perkasa, perwira berani, tanpa ragu melindungi rakyatnya dari segala tipu daya dan angkara murka. Ratusan tahun mimpi itu terus mereka wariskan, menimang-nimang setiap putra dari yang rupawan hingga elok penuh teladan. Mereka percaya elok paras akan mampu menghibur mereka, elok budi kan juga membawa kedamaian dan ketentraman. Kidung kepemimpinan yang dinyanyikan, kadang terdengar seperti rintihan karena sosok Arjuna tak jua mereka temukan.

Namun mimpi mereka bukan angan belaka. Doa dan harapan mewujud saat seorang SBY berani berbeda dan keluar dari istana. Ciri-ciri yang mereka impikan hadir dengan begitu sempurna. SBY sang kstaria, gagah dan tampan serta bijak dan penuh wibawa; inilah impian mereka. Seorang jelata yang menikah dengan kasta ksatria, memiliki tubuh yang tegap sejahtera dengan wajah tampan dan segar tanpa cela. SBY adalah raja dalam alam bawah sadar rakyat yang lama kehilangan pemimpin yang sesungguhnya.

Sayang mimpi dan angan juga ada batasnya. Saat impian terwujud hari-hari selanjutnya adalah episode kehidupan yang sebenarnya.  Rakyat hendak melihat ksatria yang sesungguhnya secara kasat mata.  Mereka ingin tahu apakah kidung bisa terlihat di alam nyata. SBY bukan lagi sosok imajinatif. SBY di mata rakyat sudah menjadi sosok historis. Ia ada sebagaimana layaknya manusia.

Setahun dua eforia masih memberi ruang dan waktu bagi ksatria yang masih memelihara wibawa, menjaga sisiran rambut agar tidak ternoda, menjaga kata-kata agar terlihat bijak tak tercela. Kaum ibu yang memilih karena kegantengannya masih percaya, ganteng adalah bagian tak terpisahkan dari kemampuan memimpin bangsa. Lima tahun bersama JK, SBY dianggap berhasil, memenuhi angan dan impian sekian ratus juta rakyat jelata. Maka periode kedua tanpa JK, popularitas SBY memang luar biasa.

Tapi ini lima tahun yang kedua. Rakyat mulai tersadar bahwa yang mereka butuhkan bukan lagi angan-angan tapi hasil nyata. Lima tahun kedua, rakyat sudah mulai menghitung, apa perubahan yang mampu membuat anak-anaknya bisa sekolah dan kerja. Melindungi mereka dari ancaman globalisasi, dari rasa takut, dari segala bentuk ancaman. Mereka mulai berani bertanya dan menagih semua janji yang sempat mereka dengar. Mereka bertanya benarkah SBY  seorang ksatria yang  mampu membawa negeri ini  keluar dari lorong gelap ke ruang penuh cahaya. Mereka mulai curiga, mampukah sang ksatria bekerja?

Hari ini seperti satu atau dua tahun lalu, rasa curiga berubah menjadi kecewa yang luar biasa. Ksatria itu hanyalah fatamorgana belaka. Semua angan-angan seolah tak mampu diwujudkan. Semua impian hilang secara perlahan. Rakyat mulai kehilangan kepercayaan. Rakyat tambah tak berdaya, rakyat tak kuat lagi menahan kecewa.

Inilah "aura" yang membuat orang lemah menjadi begitu perkasa, membuat si bisu menjadi pandai mengolah kata-kata. Satu-dua kasus, seratus seribu perkara seolah dibiarkan tumbuh, rakyat sudah tidak berdaya.

Dulu,  SBY diberi karpet selamat datang. Kehadirannya  membawa angan-angan dan harapan. "Sang Ratu Adil sudah datang"  teriak mereka  tanpa sadar. Namun itu dulu.  Kini saat ribuan nyawa meregang sia-sia,  saat bencana alam  menerjang, menurut mereka  harusnya ia datang memberi hiburan. Datang memberi harapan  agar rakyat tetap tegar dan kuat menghadapi cobaan. Tapi rakyat tak merasa. Spanduk selamat datang sudah diturunkan.

Kini yang berkembang sebaliknya.  Kita lebih banyak melihat SBY ditolak kehadirannya di mana-mana. Kita tidak tahu mengapa. Rakyat sendiri yang memiliki alasannya. Tentu  inilah momen yang sangat menyakitkan. Momen di mana masyarakat menolak sosok yang pernah di impikannya. Momen yang selalu diiringi dengan ungkapan kemarahan dan berusaha untuk melupakan dan mengabaikan. Momen yang langsung atau tidak seolah mengatakan by by SBY. Selamat tinggal SBY.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun