Hais Abjul menjalani kehidupan yang serba keterbatasan itu bukan karena pilihan hidup tetapi karena himpitan ekonomi yang dia alami sehabis PHK di Perusahan Freeport beberapa waktu yang lampau.
Ketika kembali kekampung halaman Hais menjumpai kenyataan bahwa semua harta peninggalan orang tua telah ludes terjual oleh saudara2nya yang lain. Dan lebih memiriskan lagi istri tercinta kabur meninggalkannya karena tak tahan hidup dalam penderitaan bersama Hais suaminya.
Dalam keadaan yang hancur Hais Abjul mengumpulkan semangat yang sempat pudar oleh rasa kecewa karena terlahir dari keluarga serba kekurangan.
Kenyataan lain yang dihadapi Hais adalah ketiadaan rumah untuk sekedar tempatnya berteduh disaat penat. Hais yang kini menggeluti profesi sebagai Nelayan bermimpi untuk dapat memiliki rumah.
Karena ketiadaan lahan kosong untuk mendirikan rumah, maka tersiratlah di benak Hais untuk memanfaatkan tebing batu dipinggir laut sebagai lahan untuk membuat rumah tinggal.
Berbekal keahliannya sebagai pekerja tambang di Freeport, maka Hais dengan bermodalkan Betel dan Martil melubangi tebing batu hingga akhirnya Rumah Batu yang dikerjakan Hais dapat ditinggali hingga sekarang ini.
Tak takut dengan ancaman longsor, Hais hanya berujar "Saya merasa nyaman tinggal di Istana Batu ku ini. Kalau terjadi longsor itu takdir" (Amin).