Banyak yang berharap, terutama masyarakat sosial media, bahwa Hidayat-Didik akan menjadi contender tangguh dan jadi pasangan alternatif. Didukung oleh kader PKS yang biasanya militan, harapan semacam ini terlihat realistis. Hidayat adalah caleg PKS dengan suara terbanyak se-Indonesia (melampaui bilangan pembagi pemilih). Pernah jadi ketua MPR. Dikenal belum korupsi, bersih. Sementara Didik dikenal sebagai profesor bidang ekonomi, tidak neko-neko, dan lurus.
Tapi harapan itu bakal, istilah pelawak Basuki, "wes ewes ewes bablas angine". Terbukti hingga sekarang manuver, isu, dan konsep Hidayat tentang Jakarta lama kelamaan terlihat kedodoran. Tidak secanggih yang dibayangkan oleh banyak orang. Ukurannya gampang. Mari bertanya pada diri sendiri, "Apa yang digagas Hidayat untuk Jakarta?".
Orang kalau mendengar Foke maka yang ada dalam benak pemilih adalah "incumbency"-nya, mapan, sudah teruji. Terlepas dari masalah macet, banjir, korupsi. Orang kalau mendengar Jokowi maka yang terbersit adalah kreativitasnya dalam bikin kebijakan. Kalau Hidayat? Terus terang tidak ada yang melekat kuat dalam cagub ini kecuali sebagai orang yang baik-baik saja.
Jakarta adalah kota dengan warganya yang well-informed, fully-informed. Yang lebih banyak menentukan keputusan pemilih adalah soal isu. Kalau hanya mengandalkan integritas rasanya tidak akan laku. Pemilih punya harapan lebih tinggi dari sekedar figur yang bersih atau religius. Menyadari kelemahan terbesarnya ini, Hidayat lantas lebih menekankan bagaimana orang lain yang menyuarakan dan membanggakan dia. Makanya banyak digeber komunitas, kumpulan, paguyuban di Jakarta, di Solo (daerah asal dia) maupun di luar negeri yang SEOLAH-OLAH bottom-up mendukung Hidayat. Tapi bakal lakukah cara yang demikian? Tidak.
Singkatnya, pendekatan Hidayat maju pilgub ini bagus teorinya, tapi gembos dalam praktek.