Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Kemenag Perlu Berubah, Reformasi Birokrasi!!!

29 Desember 2012   06:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:52 417 0
Kalo musim-musim kawin gini enaknya ngomongin masalah nikahan. Eh, tadi sempet baca di berita online kira-kira begini cuplikannya,

------

Dirjen Bimas Islam Kemenag Abdul Djamil tidak menampik bahwa di KUA ada saja oknum-oknum yang melakukan praktik pungli. Meski begitu dia meminta masyarakat tidak menggeneralisir bahwa di setiap KUA terjadi praktik seperti itu.

"Kalau ingin ringan, laksanakan di KUA dan di jam kantor," ujar Dirjen Bimas Islam Kemenag Abdul Djamil.

"Pada umumnya dia melaksanakan tugas atas permintaan masyarakat di luar kerja dan di luar kantor. Masyarakat umumnya mengadakan nikah tidak mau di kantor KUA, tidak sepeti orang menggunakan layanan jasa lainnya. Mereka menentukan hari libur, Sabtu-Minggu," jelasnya.

Selain itu, masyarakat juga banyak yang tidak ingin menikah di kantor KUA melainkan di masjid atau di gedung-gedung. Sebab bagi calon pengantin, pernikahan itu adalah sebuah peristiwa yang monumental.

----

Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa mengurus administrasi Pernikahan di KUA tarifnya masih menjadi tanda tanya, yang jelas sudah jauh di atas tarif resmi. Juga tergantung dari petugas yang mengurusnya. Nah, disini biasanya terjadi 'negosiasi' antara oknum petugas KUA dan calon pengurus berkas pernikahan.

Sangat muak saya ketika membaca surat pengaduan seorang calon pengantin di situs kemenag via detik.com, berikut ;

----

Saya menikah tanggal 29 Juni 2008 di Griya Ardhya Garini (Halim - Jakarta Timur). Karena domisili saya dan suami di Kebon Jeruk-Jakarta Barat maka saya harus mengurus surat di KUA terlebih dahulu. Total biaya yang dikeluarkan di KUA adalah Rp 170.000 dengan rincian Rp 120.000 untuk surat-surat dan Rp 50.000 untuk infaq dan administrasi. Seluruh biaya tersebut tidak ada ketentuan/dasar hukumnya dan tidak diberikan tanda terima (kuitansi).

Selanjutnya ibu dan adik laki-laki saya (yang nantinya sebagai wali nikah) mengurus ke KUA (menuliskan KUA di Jakarta Timur, red). Di sini dikenakan biaya Rp150.000 untuk biaya administrasi (tanpa tanda terima) dan disuruh datang kembali untuk "negosiasi" honor dengan penghulunya langsung. Selain itu, kita juga diminta membawa tanaman untuk penghijauan.

Pada tanggal 5 Mei 2008, ibu dan adik saya kembali datang ke KUA (menuliskan KUA kecamatan di Jakarta Timur, red) untuk menemui Bp S (yang saat itu baru diangkat sebagai Kepala KUA). Saat itu Bp S menyatakan bahwa beliau sendiri yang akan jadi penghulunya. Saat ibu saya bertanya berapa biaya penghulunya, malah dijawab begini, “Ibu kan seharusnya sudah tau kalo mau menemui penghulu tuh harus siap bawa uang. Nich, saya kasi liat ya, ini amplop yang dikasi oleh ibu yang masuk sebelumnya. Ini hanya untuk acara di rumah, lho, bukan di gedung! Ini amplopnya belum saya buka lho, Bu. Kita hitung ya...”

Nominal Rp 100.000 sebanyak 20 lembar, jadi jumlahnya Rp2.000.000. Akhirnya terjadilah tawar-menawar dan dicapai kesepakatan, DP sebesar Rp 500.000 (tanpa tanda terima). Sebagai gantinya, ibu saya meminta Bp S untuk menulis DP Rp 500.000 tersebut di catatan/berkas-berkas saya. Tapi itu pun dia tolak, dia bilang, “Udah, saya tulis di buku saya aja!” Dan sekaligus menegaskan, bahwa uang Rp 500.000 tersebut baru sekedar DP, lho. Jadi ya hitungannya belum lunas.

Pada tanggal 16 Juni 2008, ibu saya kembali menemui Bp S di KUA untuk melunasi biaya penghulu. Di sana ternyata sudah menunggu ajudan salah seorang pejabat yang meminta Bp S untuk menjadi penghulu pernikahan anak salah satu pejabat di Masjid At-Tin pada hari dan jam yang sama dengan akad nikah saya. Jadilah berkas-berkas saya dilimpahkan ke asistennya, Bp SA, bersama dengan amplop kedua dari ibu saya yang “hanya” berisi Rp 300.000. Nasib amplop pertama yang Rp 500.000 nggak jelas deh gimana. Jadi total biaya di KUA (menuliskan kecamatan di Jakarta Timur, red) adalah Rp 950.000.

-----
Biasanya ada dalih dari beberapa orang bahwa pemberian / pungutan itu wajar karena alasan-alasan klasik, karena hari libur lah, karena acaranya tidak di kantor lah, karena uang transport lah. Harusnya kan dari Kemenag sudah bisa buat PERATURAN karena kondisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, katakanlah membuat standar biaya jika penghulu harus bekerja di hari libur dapat honorarium berapa, jika datang ke rumah mempelai dapat uang transport dan honorarium berapa, serta berapa besarannya yang harus ditentukan agar tidak ada ''negosiasi'' yang kadang malah memberatkan pihak calon pengantin.

Kecewa saya membaca pendapat dari Wakil Ketua Komisi VIII Hasrul Azwar,

"Kalau orang mau kasih seikhlasnya nggak masalah karena mereka bekerja kan di luar hari kerja. Rata-rata orang nikah kan hari Sabtu atau Minggu, mana ada orang nikah hari Selasa atau Kamis. Umumnya nikah hari libur Sabtu pagi, Minggu. Lantas KUA-nya dikasih uang transport kan wajar-wajar saja, itu bukan gratifikasi," kata wakil ketua Komisi VIII Hasrul Azwar kepada detikcom, Jumat (28/12/2012).

Menurut saya harusnya yang memberi uang transport itu dari kantor bukan dari mempelai. Sudah saatnya Kemenag berbenah, menetapkan tarif standar dan mempublikasikan Standar Operating Procedure (SOP) untuk mengurus administrasi pernikahan. Masak di KANTOR URUSAN AGAMA banyak PUNGLI yang notabene adalah KORUPSI.. mau ditaruh dimana muka ini, saatnya Kementerian Agama bersih-bersih.

STOP PUNGLI, STOP KORUPSI..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun