Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Artikel Utama

Prasangka

15 April 2015   09:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 81 5
Ketika itu masuk kamar dan menyadari bahwa ponsel yang biasa saya pakai tidak berada di tempatnya membuat diri ini cukup kaget. Kenapa cuma cukup kaget tidak sampai terkaget-kaget? Karena ponselnya sudah cukup lama dipakai, kalau hilang maksudnya bisa ganti yang baru.

Di antara resah mencari-cari ada rasa curiga juga karena kamar belum lama dibersihkan office boy. Pas begitu terdengar suaranya di luar kamar. Ada keinginan untuk segera menanyakannya. Namun masih berusaha menahan diri untuk mencari dahulu.

Benar saja, rupanya ponsel tersebut tergeletak di tempat tidur. Kenapa bisa? Tidak ada kakinya, kan? Sebab saya yakin meletakkan di meja. Jangan-jangan? Curiga lagi.

Saya mencoba untuk menelusuri jejak rekam seharian itu. Ehm, ya benar saya sempat merebahkan tubuh di ranjang sambil menyalin nomor telepon.

Tak bisa membayangkan, andai saya dengan segera dalam rasa curiga menanyakan keberadaan ponsel itu padanya. Paling tidak akan sedikit merusak hubungan dan ada rasa tidak nyaman membersihkan kamar.
Curiga dan Salahpaham

Dalam kehidupan kita memang tak sedikit hubungan baik antar teman, saudara, rekan kerja atau bisnis menjadi rusak disebabkan oleh rasa curiga dan kesalahpahaman. Padahal dengan sedikit menahan diri dan sedikit menyisakan rasa percaya, maka hubungan baik yang sudah terjalin akan baik-baik saja.

Mengapa rasa curiga dan salah paham lebih menguasai kita daripada untuk saling percaya dan menahan diri untuk mencurigai yang berlebihan?
Mencari Kesalahan Pada Orang Lain

Seringkali kita lebih tertarik atau tergoda mencari kesalahan pada orang lain atas kesalahan yang kita lakukan sendiri.

Ketka kita mengalami hal yang tidak menyenangkan atau kehilangan sesuatu fokus kita lebih tertuju ke pihak lain. Ini gara-gara dia, pasti ada atau dia yang ambil. Kita enggan menelusuri dan meneliti dahulu untuk mencari kesalahan itu pada diri sendiri. Mengapa?
Ego yang Berkuasa

Hal ini menunjukkan bahwa diri kita masih dikuasai ego bukan sejati diri. Ego selalu membuat diri kita selalu benar. Tak ada kamus salah. Biar kenyataannya salah tetap saja benar.
Tentunya berbeda bila pembinaan diri kita sudah baik, sehingga sejati diri mulai menjadi tuan rumah. Hiduo kita akan lebih berpusat meneliti ke dalam diri.

Semoga dalam perjalanan ini melalui proses kehidupan perlahan tapi pasti kita bisa kembali kepada kesejatian diri kita. Menjadi makhluk yang selayaknya.
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun