Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Menilai

21 Januari 2014   07:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 238 19


Apakah waktu hidup kita lebih banyak kita gunakan untuk menilai diri sendiri atau orang lain? Jawaban pastinya hanyalah diri kita pendiri. Tapi untuk diri saya sendiri, saya berani memastikan, bahwa orang lain yang lebih banyak saya nilai. Bahkan terhadap satu hal yang belum tentu kebenarannya sok untuk saya beri nilai tentu dengan sok keegoan yang mungkin kelak justru akan mempermalukan saya.



Bukan hanya orang, bahkan kelakuan seekor kucing yang mengawini anaknya  atau tikus yang eek sembarangan pun tidak terlepas saya nilai.  Ini kucing menyebalkan.  Itu tikus kurang ajar. Apa yang tidak saya nilai? Keterlaluan sebenarnya. Otak dan perasaan lebih menguasai hidup saya saat ini dan itu sebenarnya tanpa disadari menjadi beban dan merugikan keadaan spiritual diri sendiri..

Ego yang Lebih Bekerja

Segala penilaian yang hadir terhadap sesuatu  di luar diri kita, karena ego kita yang lebih bekerja. Hidup kita menjadi lebih sibuk menilai orang lain demi sebuah aktualisasi diri yang dikuasai ego. Sampai mungkin kita lupa untuk menilai diri sendiri.

Ego kita merasa berhak menilai apapun dan siapun juga. Tentu dengan melebihkan kehebatan diri sendiri. Ada orang yang sudah mau bekerja demi masyarakat dengan mencurahkan sepenuh pikirannya. Kita yang  cuma duduk diam saja masih berani menilai 'kerjanya tidak becus!'.



Ada orang yang sudah tulus berbuat baik dengan membantu sesamanya, kita beri nilai 'sok pamer dan pencitraan'. Lalu dengan bangga kita menilai diri sendiri 'mendingan saya yang diam-diam memberi tak pakai pakai'.


Ego juga membuat kita seakan lebih baik dan hebat dari siapapun. Biasanya kita menilai dengan 'Mendingan saya dong daripada dia'.

Ego menjadikan kita sibuk menilai si ini begini, si itu begitu. Ketika penilaian kita salah pun ego kita kembali berkuasa dengan masih tetap menyalahkan yang yang kita nilai. Sebab ego tak pernah mau disalahkan dan anti kritikan.

Selama ego kita yang terus dibiarkan berkuasa, maka lembaran kesalahan demi kesalahan tak akan menyadarkan kita. Sebaliknya membuat kita bangga dengan semua itu.


Kapankah Potensi Sejati Diri yang Bekerja?

Ketika kita sudah merasa baik  dengan banyak melakukan hal-hal yang baik. Mungkin kita lupa, jurus menilai kita tetap bekerja. Penilaian kita terhadap orang lain yang mengarah ke menghakimi masih ada.

Apakah kita harus menyalahkan otak yang menjadi pelakunya? Tentu tidak. Semua tergantung bagaimana kita menetralkan dengan menggali potensi sejati diri kita yang lebih bekerja. Dimana potensi diri kita yang pasti bersifat netral. Tidak akan menilai sesuatu dengan label baik atau buruk.

Untuk memulihkan potensi diri kita kembali bekerja, mau tidak mau kita perlu mengendalikan ego, agar tidak menjadi bos yang sok mengatur terus-menerus. Waktunya kembali menjadi bos yang duduk manis.

Dalam hal ini, perlu sebuah afirmasi atau penguatan 'saya tidak akan menilai apapun yang terjadi hari ini'. Setiap ada kemunculan untuk menilai pada saat itu juga kita sangkal. Pada waktunya potensi sejati diri mulai bekerja.

Tentu tidak ada yang mudah dalam hal ini dan kalau tidak mau dikatakan ini adalah usaha yang maha sulit. Perlu perjuangan ekstra. Sebab si bos tentu tidak ingin perannya digantikan yang sudah nyaman dengan posisinya saat ini.

Revolusi Diri

Terlepas kita akan berhasil atau tidak kelak dalam meruntuhkan tembok keegoan yang masih kokoh, yang terpenting adalah bangkitnya sebuah kesadaran untuk melakukan perlawanan dan  revolusi diri atau hidup kita selalu dibawah penjajah kekuasaan sang ego. Sebab ini menyangkut perjalanan sejarah kehidupan kita.

Sejatinya hidup dikuasai oleh ego akan membuat ketidak-nyamanan. Sebab potensi sejati diri kita tidak bekerja dengan semestinya.

Lalu bagaimana dengan kita yang nyaman-nyaman saja yang sepenjang waktu hidup dalam penguasaan ego? Nyaman cuma kelihatannya. Damai hanya di permukaan belaka. Kenyataannya tidak demikian. Sebab hidup yang dikuasai ego membuat kita menderita secara jiwa. Tidak ada kedamaian batin dan jiwa yang hening. Stress akhirnya.

Tetapi ketika potensi sejati diri yang menjadi nahkoda kehidupan, maka keheningan dan damai yang sejati akan ditemui. Langkah awalnya ada menyadari akan keberadaan potensi sejati diri yang selama ini tersembunyi dan membebaskan diri dari penjajahan sang ego.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun