Dalam perjalanan waktu, suara hati kita kehilangan gemanya dan selanjutnya terabaikan. Ketika suara hati masih sayup-sayup terdengar, kita lantas berkata,"Hei suara hati, emang gua pikirin! Siapa lu?"
Entah sudah berapa banyak momen indah dalam hidup kita yang terlewatkan. Karena kita tidak mau dengan rela berbuat sesuai suara hati. Kita hiraukan dan tak peduli.
Kita kubur pesan-pesan Ilahi itu dengan kepintaran logika dan bermain-main dengan rasionalisasi. Kebenaran kita tutupi dengan pembenaran dan kita tidak perlu merasa bersalah. Apalagi penyesalan.
Walaupun tidak selamanya logika dan rasionalisasi itu salah. Tapi kesalahannya kita lebih mengutamakan menggunakan logika dan rasionalisasi dengan mengabaikan suara hati.
Pada saat suara hati kita menginginkan untuk menolong orang lain dengan sebagian harta yang kita miliki. Logika kita menghalangi dengan memberikan masukan, bahwa kita masih banyak keperluan.
Ketika suara hati sudah mengingatkan kita untuk beribadah, spontan logika kita bekerja. Sesekali tidak beribadah tidak apa-apa. Lagipula kan sedang sibuk. Tuhan juga maklumlah.
Waktu timbul niat untuk berselingkuh, suara hati memperingatkan, agar jangan melakukannya. Tapi pikiran rasional kita pun tak mau kalah memberi alasan. Tak apa selingkuh itu yang penting rumah tangga tetap utuh. Hitung-hitung menghilangkan kebosanan dengan yang di rumah.
Begitulah, kita tertipu dan hidup dalam permainan logika, sehingga harus mengubur suara hati. Herannya justru banyak yang bangga dengan hal ini. Siapa ya?