Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kopdaran dan Kebenaran

3 Oktober 2012   13:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:18 133 7
Hari itu saya tegang bercampur senang karena akan kopdaran dengan sahabat dunia maya di Kompasiana.
Tempat dan waktu dijanjikan. Sampai tujuan di depan sebuah mall saya mencari-cari di mana gerangan sahabat tersebut.

Pada saat bersamaan juga saya lihat ada sosok yang sedang kebingungan mencari seseorang. Saya perhatikan wajahnya. Tidak salah lagi. Pasti dia yang kucari.
Untuk meyakinkan, saya meneleponnya.

Hampir saat yang bersamaan seseorang itu juga mengangkat ponselnya. Jarak kami sekitar 15 meteran.

Pasti dia orangnya. Logika saya semakin meyakinkan. Langsung saya dekati dengan penuh percaya diri.

"Maaf, Anda si anu, kan?"

Ia menatap saya curiga. Padahal tampang saya orang baik-baik.

"Bukan! Bukan! Bukan saya!"

Langsung ia bergegas pergi. Tinggal saya yang terbengong-bengong curiga. Jangan-jangan ia kecewa dengan penampilan saya? Karena saya begitu yakin orang tersebut yang ingin saya temui.

Penasaran. Saya telepon lagi. Dari kejauhan di dalam mall. Keluarlah sosok kompasianer tersebut. Ia langsung mengenali saya. Maklum tampangnya nangkring terus di Kompasiana.

Ternyata hal yang begitu saya yakini kebenarannya di depan mata. Ditambah didukung oleh logika, masih juga salah.
Malahan saya mengotori pikiran saya dengan kecurigaan.

Dalam hidup kita, banyak peristiwa seperti yang saya alami. Apa yang kita lihat, dengar, pikirkan, dan rasakan benar. Pada kenyataan tidak benar.

Tetapi kita seringkali hanya berdasarkan semua itu kita menyimpulkan demikian kebenarannya. Lalu kita mengambil keputusan.

Padahal kita tahu, mata, telinga, pikiran, dan perasaan sering menipu kita. Mencuri hati kebenaran sejati kita.

Seorang karyawan yang rajin bekerja sepanjang waktu. Hari itu karena kondisinya kurang sehat, sehingga beristirahat sejenak.

Apes baginya, hari itu boss besar datang dan melihat kejadian tersebut. Diam-diam ia menilai tanpa berkomentar.

"Ehm, saya databg aja kamu malas-malasan ya. Apalagi kalau gak ada saya?"

Di antara ratusan karyawan, hanya nama dan wajahnya yang begitu diingat si boss.

Ketika hendak dipromosikan, boss selalu menolak karena ia percaya dengan kebenaran yang ia saksikan sendiri daripada masukan atasan karyawan tersebut yang menikainya rajin.

Disinikah akal sehat dan kearifan diperlukan untuk mengambil kesimpulan secara benar. Tidak sekadar dengan melihat, mendengar, berpikir. Apalagi hanya berdasarkan perasaan dan emosi.

Terakhir, dalam tulisan ini ada kebenaran yang belum terungkap. Siapakah gerangan kompasianer tersebut? Pasti para sahabat menduga-duga dan berpikir.

Jadi? Lebih baik baik jangan berprasangka dan berpikir tentang hal ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun