Ini fakta. Bukan pepesan kosong. Bukan dalam kisah sinetron. Hidup di negeri ini kalau jadi pejabat tidak korupsi, justru akan dianggap lucu. Menjadi bahan tertawaan. Disindir sok alim.
Jangan heran bila imannya pas-pasan akan segera turut ambil bagian dalam berkorupsi. Suatu perbuatan yang sebelumnya dibenci. Apa boleh buat. Terpaksa dan terdesak kebutuhan. Uang tidak berdosa ini.
Kalau bicara dosa, maka betapa berdosanya sang pelopor pencipta sistem percaloan dalam merekrut pegawai atau politik uang untuk menjadi pejabat.
Bukan rahasia lagi di negeri ini untuk menjadi pegawai negeri atau pejabat wajib mengeluarkan modal besar-besaran.
Dikatakan wajib, kalau semuanya ingin lancar. Bila tidak mau keluar modal, maka adanya pasti kesulitan.
Khususnya untuk menjadi polisi. Tentu kita paham. Selain biaya resmi yang tertulis. Ada biaya resmi yang tidak tertulis. Tapi wajib disetor.
Satuan keamanan tempat saya bekerja saat ini. Begitu ngototnya agar anaknya bisa jadi polisi. Tapi karena modal pas-pasan, akibatnya gagal lagi gagal. Padahal katanya punya koneksi.
Penyebabnya cuma satu. Ia belum bisa memenuhi persyaratan untuk menyetor uang Rp 80 juta sebagai jaminan lulus tes dan biaya selama pendidikan.
Sebaliknya anak temannya bisa langsung lulus. Selain uang setoran wajibnya cukup. Koneksi atau orang dalamnya juga kuat.
Walaupun untuk mendapatkan uang wajib setor itu harus menjual harta benda berupa tanah, rumah atau mobil.
Mengapa sampai begitu relanya? Apakah semata-mata karena ingin mengabdi pada negara? Tentu Perlu dipertanyakan.
Secara logika seharusnya kita tidak perlu begitu menyalakan. Bila kebanyakan _artinya tidak semua_ polisi kita harus korupsi. Melakukan pungli sana-sini.
Karena itu memang kewajibannya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Jadi anggap halal-halal saja dalam hal ini. Tak perlu dicibir.
Walaupun polisi banyak yang korupsinya semakin menjadi-jadi. Tetapi apa jadinya negeri ini tanpa polisi.
Jadi?