Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Menjadikan Tulisan Sebagai Guru

13 Juni 2012   11:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 72 1
Menulis bagi saya lebih sebagai guru daripada untuk menggurui. Bila terkesan menggurui sebenarnya adalah untuk menggurui diri sendiri [k4t3dr4]
Menulis tentang kehidupan berupa nasehat atau motivasi. Tidak sedikit penulis yang memposisikan dirinya sebagai yang mengajari atau motivator. Karena memang itu keahliannya. Keilmuan yang mereka milik, sehingga layak sebagai guru.

Atas keilmuan atau keahlian yang mereka miliki, maka menulis dijadikan sebagai profesi untuk mencari rejeki. Memang tidak ada yang salah dalam hal ini.

Sementara itu bagi saya pribadi menulis baru sebatas untuk berbagi sedikit ilmu dan pengalaman hidup sebagai pembelajaran.

Dalam perjalanannya menulis bukan semata-mata dari pengalaman yang terjadi. Tetapi tidak sedikit hasil olah dari pikiran dan hati.

Apa yang tertulis banyak di antaranya mengalir demikian saja dari kedalaman hati. Bahkan tidak terpikirkan sama sekali.

Itulah sebabnya apa yang tertulis seakan-akan seperti nasehat bagi saya sendiri. Boleh dikatakan tulisan merupakan guru bagi saya.

Seperti salah satu pengalaman yang baru terjadi. Saat itu saya menulis "Omong Kosong Tentang Memaafkan dan Mengasihi Tuhan".

Selang sehari saya mengalami peristiwa yang membuat saya harus benar-benar untuk bisa memaafkan.

Seorang rekan kerja meminjam suatu barang. Sebenarnya barang tersebut juga saya pakai.

Karena katanya sebentar. Akhirnya saya relakan sambil berpesan, agar jangan sampai lupa dikembalikan. Saya pesan dua kali. Karena khawatir lupa.

"Tenang aja sih. Pasti dikembalikan!" sahut rekan itu memastikan.

Apa yang terjadi? Terjadi sampai sore. Sampai semua karyawan sudah pulang. Barang yang dipinjam belum dikembalikan.

Siapa yang tidak kesal? Keterlaluan sekali. Dalam suasana demikian. Langsung ingat tulisan tentang memaafkan yang saya tulis.

Ketika keesokannya saya tanyakan. Dengan enteng rekan kerja itu mengatakan lupa.

Baiklah. Kalau begitu segera dikembalikan. Karena saya mau pakai. "Iya, ya. Tenang aja sih. Saya kembaliin."

Ternyata oh ternyata. Penyakit lupanya kembali kambuh. Karena sampai pulang kerja barangnya belum dikembalikan.

Wah ini sudah keterlaluan pikir saya. Ini seharusnya saya perlu emosi. Dalam keadaan demikian. Lagi-lagi saya diingatkan kembali pada tulisan tentang memaafkan agar tidak menjadi omong kosong.

Alangkah malunya. Bila untuk hal yang begitu kecil saya tidak bisa memaafkan dan melupakan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun