#
Langit kelam mengiringi langkahku. Kicauan burung yang ramai menyambut kini tak terdengar. Sepi senyap.
Pepohonan tak berseri. Angin serasa membeku.
Langkahku terasa berat. Dada serasa sesak. Pikiran kalu berbalut tanya yang tiada habisnya. Hal yang tak pernah kurasakan biasanya bila menuju ke Puncak Kesunyian bertemu Sang Guru.
Ada firasat yang tak menggembirakan. Ada apa gerangan?
Tak harus menunggu lama. Karena bisikan batin telah menyampaikan. Sang Guru hadir menyambut di depan padepokannya. Suasananya masih seperti dulu. Penuh keramahan dan kesederhanaan.
Sang Guru langsung mempersilakan duduk dan segelas teh hangat telah tersedia. "Silakan minum untuk menghilangkan kelelahanmu, sahabatku."
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, segera kuseruput teh hangat yang tersaji menyusuri kerongkongan. Badannya terasa hangat dan pikiran sedikit terang.
Dihadapanku Sang Guru menikmati teh yang tersaji. Tersenyum dan menyapa,"Ada kabar apa gerangan, sahabat?"
"Sepertinya Guru sudah mengetahui maksud kedatanganku. Tentu saja kabar yang kurang menyenangkan. Apalagi saat menuju ke mari, aku mencium gelagat yang kurang berkenan di hati."
Tawa Sang Guru membahana dan mengangguk-angguk. "Sahabat, hidup jangan terlalu dipengaruhi prasangka buruk. Jangan biarkan kegelisahan dan ketidakpastian memenuhi pikiran. Nikmati saja apa yang terjadi dengan hati yang terbuka."
Sang Guru bangkit. Berjalan memandang gunung menjulang. Aku mengikuti langkahnya.
"Sahabat, takdirku hampir sampai. Tak perlu ada yang disesali. Demikianlah hidup. Datang dan pergi. Semuanya adalah hal yang alami."
Aku tak kuasa untuk memotong pembicaraan Sang Guru,"Maksud Guru? Takdir telah sampai!"
"Ya, kematianku. Kami para Guru bisa mengetahui takdir kami sendiri. Karena batin telah tercerahkan. Kematian adalah menuju kepada kelahiran yang sesungguhnya. Pesan terakhirku, mulailah untuk berpikir jernih. Jangan sampai demi mengejar sesuatu yang palsu, melupakan yang asli."
Sang Guru menatapku dalam-dalam sampai menembus hatiku. "Hidup ini singkat. Begitu cepat berlalu. Bagaikan embun pagi yang cepat mengering. Sudahkah berarti?"
Tanpa terasa airmataku mengalir. Nurani tersentuh. Menyadari hidup masih begitu banyak dipenuhi kesalahan. Alih-alih berarti.
Malu. Sang Guru saja, menjelang kematiannya masih terus memberikan arti bagi orang lain. Aku?