Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Majenun

12 Juni 2014   22:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:01 149 15


Hati ini panas, panas dan panas. Emosi dan nafsu berkecamuk membuat pikiran tidak waras dan hati tidak awas. Pesta demokrasi memilih pemimpin jadi ajang saling tebas. Saling menjelekkan dan menyerang sambil tertawa lepas. Aku jadi sulit untuk bernafas dan ikut jadi tak waras.



Kehilangan Akal Sehat




Mendukung penuh kefanatikan membuatku kehilangan akal sehat untuk berlogika. Seperti sedang jatuh cinta rasa. Sang kekasih bagaikan malaikat saja. Tiada salahnya. Dipuja bak dewa. Membela dengan membabi buta.



Ketika calon dukunganku menjelekkan dan menghina saingannya di belakang, maka aku bilang itu keren. Pada saat memuji - muji lawannya di depan aku anggap itu elegan. Apa pun yang dilakukan jagoanku semuanya berkenan dan mendapat sanjungan.



Sebaliknya apa pun yang dilakukan calon yang tidak aku dukung dilihat dengan kesinisan. Yang baik akan aku anggap pencitraan. Apalagi yang jelek, itu pasti akan jadi bahan ledekan. Jadi bulan - bulanan dan tertawaan.



Semua visi dan misi calonku pasti baik dan akan menjadi kenyataan. Tetapi visi dan misi calon sebelah paling hanya pepesan kosong.



Aku yang mengakunya pintar gara - gara dukung - dukungan ini jadi kehilangan akal sehat. Apa yang aku lakukan seperti bukan diriku lagi. Kefanatikan dan kebencian telah membelengguku untuk tak dapat berpikir jernih.



Kemasukan Jin



Ketika nuraniku tertutup kegelapan nafsu dan kefanatikan, sepertinya jin telah memasuki tubuhku, sehingga aku tak bisa lagi berpikir dan menggunakan hati. Buktinya aku tak bisa lagi melihat sisi baik dari yang bukan calon dukunganku dengan jernih.



Aku juga tak bisa lagi bisa melihat sedikit pun ada kesalahan pada calon yang aku sukai. Padahal ketika waras aku paham sekali bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Pasti ada baik dan salahnya, tapi ...?



Tetapi tentu saja aku tak akan mengakui. Mau ditaruh di mana harga diri ini? Hari gini bisa kemasukkan jin itu pasti hanya ilusi. Aku pasti dengan bangga menyatakan bahwa aku sudah memilih dan mendukung dengan hati.



Kalau kelakuanku mati - matian membela calonku harus dengan caci - maki itu sekadar membela diri. Adalah hal yang wajar juga kalau aku harus membenci calon yang tidak kusukai. Wajar juga kalau aku sampai harus menyumpahi mereka yang menjelekkan tokoh yang menjadi pilihan hati.



Pokoknya kalau musim pemilihan presiden ini jagoanku yang paling nomor satu atau dua. Tuhan, istri, anak, apalagi teman boleh nomor sekian. Demi memberikan dukung yang penuh kepada jagoan aku rela mengabaikan perintah Tuhan dan kehendak-Nya. Apalagi kalau cuma kata - kata istri dan teman.



Pada Akhirnya,  Gila



Aku selalu merasa diriku baik - baik saja dan hebat dengan apa yang telah aku lakukan dalam mendukung calon idola. Tidak peduli kata orang kalau aku ini sudah gila. Aku bangga walau aku harus membenci dan menghina.



Pada akhirnya aku masih bisa berkata, justru mereka yang bilang saya gila itu sesungguhnya yang gila dan tidak tahu apa - apa. Tidak mungkin aku yang baik dan ganteng ini disamakan dengan orang gila yang berkeliaran.




Refleksi :



Ketika dalam kefanatikan dalam hal apa pun dan kehilangan akal sehat, maka semua yang kita lakukan adalah yang paling benar. Walau di dasar hati ada suara kebenaran bahwa tidak ada manusia yang sempurna.



Kefanatikan pun akan membutakan hati kita untuk melihat kebaikan dari mereka yang tidak kita sukai, sehingga yang akan tampak adalah apa pun yang mereka lakukan pasti salah. Padahal kita tahu kebenarannya seburuk - buruknya orang pasti ada nilai kebaikannya.



Ketika kita kehilangan kesadaran dan energi negatif kita yang lebih dominan, maka secara otomatis akan menarik energi - energi negatif yang ada di sekitar untuk menguasai kita. Pada akhirnya energi negatif itulah yang mengendalikan kita. Seringkali kita melakukan hal yang bertentangan dengan nurani tanpa sadar.



Setelah itu, maka ego kita yang merajalela menjadi penguasa. Pada akhirnya dengan lantang kita berani mengumumkan kepada dunia kitalah yang paling benar dan yang lain salah. Sebab bagi sang ego tidak ada kamus untuk mengakui kesalahan.

Mana kala ego menjadi raja, kita tidak ragu dan berkoar - koar tentang kebenaran, padahal apa yang kita omongkan jauh dari kelakuan. Misalnya ada pejabat mengatakan, tegakan hukum. Tak tahunya jadi koruptor.

Bila pun salah, malah akan melemparkan kesalahan kepada orang lain. Sudah tidak waras pun dalam perilaku, tetap merasa paling waras.



Apakah orang gila pernah merasa dirinya gila? Silahkan konsultasi dengan orang gila yang Anda temui. Dengan saya juga boleh, sebab saya adalah salah satu orang gila itu.

Pada akhirnya, memiliki kelembutan hati  untuk berani jujur atas apa yang terjadi pada diri kita adalah obat yang menyembuhkan untuk menetralisir kekuasaan sang ego.




katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun