Dalam berbuat baik kita selalu diingatkan, agar melakukannya dengan ketulusan. Tanpa pamrih. Berbuat baik semata karena panggilan hati dan rasa bakti kepada Sang Pencipta yang telah 'melahirkan' kita. Apalagi dalam urusan ibadah. Semua semata - mata karena taqwa. Bukan untuk dinilai manusia. apalagi penghargaan dan tepuk tangan.
Berbuat Karena Pamrih Pasti Ada Kecewanya
Siang itu iseng -iseng melepas penat pencet sana -sini ketemu stasiun televisi yang sedang menayangkan drama religi. Kalau tidak salah judulnya 'Doa Tak Bisa Dibeli'. Walau hanya menonton beberapa adegan tapi sudah cukup memberikan sebuah kesan yag mendalam untuk jaadi sebuah tulisan. Syukur - syukur bisa menjadi permenungan bersama.
Seorang suami yang tulus namun tak berdaya menghadapi istri yang dalam melakukan setiap hal berharap pamrih dari manusia. Mau beramal sukanya pamer. Menyumbang ke masjid, tapi pesan -pesan didoakan. Mau tarawih sengaja pergi ke masjid yang jauh supaya pahalanya lebih besar.
Apa yang terjadi? Begitu cobaan datang ketika tempat usahanya terbakar, sibuk menyalahkan. Ustadz yang diminta mendoakan dianggap doanya tidak manjur. Akhirnya antipati melakukan kebaikan karena dianggap tidak mendatangkan keuntungan. Sajadah dan Al Qu'ran yang sudah disumbang semuanya diambil kembali. Tidak rela. Ada ya orang seperti itu? Pastinya ada. Walau dalam cerita. Kalau secara nyata? Mikir juga sih!
Berbisnis dengan Tuhan
Wajar saja kemudian ada yang coba - coba berbisnis dengan Tuhan. Karena Tuhan dianggap bos besar Yang Maha Baik, sehingga kalau berbisnis dengan - Nya pasti bisa untung besar. Kalau menyumbang sekian, maka akan mendapat balasan berlipat sekian.
Apabila sudah rajin beribadah dan berbuat baik, Tuhan harus selalu memberikan yang baik dan enak. Maunya seperti itu. Pokoknya harus serba baik.
Apakah akan selalu demikian? Lihat si A rajin beramal, banyak rejekinya. Terpanggil ambil bagian. Sudah banyak beramal dan merasa ikhlas, tapi hidup tetap tidak berubah. Boleh dibilang malah tambah susah. Mulai galau. Kenapa begini. Ah, percuma kalau begitu.
Sudah rajin beribadah dan tidak putus menyebut Nama Tuhan tapi tetap tidak bisa lepas dari penderitaan dan bencana. Mulai perhitungan. Apa gunanya? Hati mulai hitung - hitungan ala pedagang.
Apakah Berbuat Baik Semata - mata untuk Mendapat Balasan?
Seperti anak kecil yang diiming - imingi dengan permen atau mainan ketika mereka bisa melakukan hal yang baik. Apakah kita dalam berbuat baik atau beribadah harus terus diiming - imingi seperti itu?
Tidak ada yang salah memang karena setiap kebaikan dan ketaatan pasti akan ada balasan. Tetapi yang kita harapkan adalah kita dapat melepaskan akan kemelekatan ini dengan yang namanya kesadaran bahwa apa yang kita lakukan memang sudah semestinya sebagai manusia sejati.
Kelak mau mendapat balasan atau tidak bukan lagi menjadi tujuan utama. Tetapi melakukan apa yang seharusnya dilakukan itu yang terutama dan penting. Tiada beban dan kecewa. Sebab apa yang dilakukan mengalir begitu saja. Bukankah ini lebih membahagiakan sebab oleh keikhlasan?
katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri