Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Tawa

9 September 2014   05:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 203 19


Ada yang tidak suka tertawa? Ke laut saja! Bunuh diri? Tidak, tapi  supaya bisa tertawa sepuasnya kalau takut tawanya dapat dilihat orang lain.



Pada zaman sekarang, ketika tekanan hidup semakin berat, maka amarah lebih menjadi pilihan. Tertawa pun terlupakan. stres jadi teman. Penuaan dini tak terhindarkan.



Hidup tak bisa tanpa ada tawa. Ibarat sebuah taman akan menjadi gersang tanpa kehadiran bunga - bunga yang bermekaran.




Tertawa untuk Menyehatkan raga dan jiwa



Betapa ajaibnya dari sebuah tawa. Siapa yang masih bisa tertawa lepas dan tulus menandakan masih ada kebahagiaan hidup bersamanya.



Sebab tawa dapat menghilangkan ketegangan dan menenangkan jiwa. Tawa dapat  membuat tubuh menghasilkan hormon endorphine yang akan memberikan rasa nyaman pada tubuh.



Orang - orang yang sakit dan mau berusaha tertawa, maka  akan lebih cepat memberikan kesembuhan. Tertawa mendatangkan rasa nyaman pada tubuh, itu berarti proses kesembuhan menjadi lebih mudah.



Apabila kita hidup dapat selalu bersyukur dan berterima kasih, dalam keadaan sesulit dan dan semenderita apa pun pasti kita masih dalam tertawa. Minimal kita akan belajar menertawakan hidup yang sedang kita jalani. Bukankah alangkah bahagianya bila masih bisa tertawa dalam kesulitan dan penderitaan?

Bisa menertawakan diri sendiri atas kesalahan dan kebodohan yang telah dilakukan pun bisa membuat kita terlepas dari beban dan membuat kita lebih belajar serta merenungi akan kesalahan dan kebodohan tersebut. Beranikah menertawakan diri sendiri?




Menonton  Tawa



Sekarang ini demi untuk mengundang  tawa kita, para pelawak bekerja keras.dan memakai  berbagai cara. Karena mereka akan mendapatkan bayaran yang setimpal demi memberikan hiburan.



Demi memancing tawa kita, para pelawak tidak segan menggunakan cara yang kasar dan etis. Bahkan bisa menyinggung perasaan. Selain itu saling menghina pun dilakukan semata, agar para penonpon rela tertawa.



Apakah kita sampai harus rela menertawakan kekuarangan dan kehinaan orang lain, sehingga secara perlahan akan melupakan rasa peduli kita? Sepertinya dunia sedang mengajarkan kepada kita untuk demikian.



Tertawa yang ikhlas dan tulus dari hati memang dapat menyehatkan raga dan jiwa. Tetapi suka menertawakan orang lain justru akan membuat kita kehilangan empati.




Menertawakan Orang Lain adalah  Menyedihkan, Lebih Menyedihkan Lagi Kita Tidak Menyadari sedang Menjadi Tertawaan Orang Lain



Sadar tidak sadar kita memang suka menertawakan orang lain. Susahnya kita malah senang menertawakan kesusahan orang lain. Orang lain sedang tertimpa kemalangan kita malah tertawakan.

Ketika kita menertawakan kemiskinan atau kemalangan orang lain, kita sendiri layak untuk ditertawakan atas kemiskinan jiwa kita. Miskin empati. Tatkala kita terbahak - bahak menertawakan kebodohan seseorang, bisa jadi pada saat yang sama kita sendiri sedang ditertawakan.

Sebab kita sendiri tidak lebih pintar daripada yang ditertawakan. Orang yang suka menertawakan kebodohan orang, jelas memperlihatkan dirinya tidak memiliki kecerdasan spiritual.




Kita senang menonton acara lawak yang hanya berisi olok - olok sesamanya. Bahkan ada yang rela diserupakan dengan hewan. Menyedihkan bukan? Apakah harus sampai demikian? Apa pedulinya? Yang penting bisa tertawa.



Bila menertawakan orang lain sudah menjadi keseharian kita. Apakah kita pernah bercermin dengan segala perilaku kita? Jangan - jangan dengan apa yang kita lakukan sedang menjadi bahan tertawaan orang lain?



Apakah kita sedang serupa dengan para pejabat atau pemimpin kita yang bobrok dengan tingkah lakunya yang sedang menjadi bahan tertawaan rakyatnya?



Yang ucapan dan perilakunya bertolak belakang? Di atas mimbar bicara tentang integritas berapi - api, tapi perilakunya penuh kelicikan dan kecurangan demi sebuah kekuasaan.



Di sekitar pendukungnya yang mahir menjilat akan mendapat tepuk tangan yang membuatnya tertawa. Namun jauh dari panggung orang dapat melihat jelas dan menertawakan dirinya.

Tanpa sadar ketika kita menertawakan kemiskinan atau kemalangan orang lain, kita sendiri layak untuk ditertawakan atas kemiskinan jiwa. Miskin empati. Tatkala kita terbahak - bahak menertawakan




katedrarajawen@refleksihatimenerangidiri




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun