Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria, ada 212 konflik agraria pada 2022. Jumlah tersebut naik 2,36% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 207 konflik. Dari jumlah itu, luas lahan yang mengalami konflik agraria sebesar 1,04 juta hektare (ha) sedangkan, ada 346.402 kepala keluarga yang mengalami dampak konflik agraria di 459 daerah di Indonesia (Hijriah, 2024). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sengketa tanah antara lain, peraturan yang tidak sempurna, kesesuaian dengan peraturan, dan kuantitas tanah yang tersedia berisi data yang tidak akurat (Anggita,2024). Hukum yang mengatur sengketa tanah yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 (disingkat UUPA) berfungsi sebagai sumber Hukum Agraria di Indonesia, Hukum Adat Tanah menjadi landasan utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional serta rasa keadilan, serta Hukum Adat Tanah muncul setelah pemberlakuan UUPA (Ilham, 2024). Ketiga Aspek ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dapat menimbulkan konflik atau sengketa tanah. Banyaknya kasus bentrok antara masyarakat dengan dengan sebuah perusahaan mengenai kepemilikan tanah menjadi masalah yang cukup serius. Ketersediaan lahan baik untuk kegiatan ekonomi maupun untuk sebuah perusahaan menjadi masalah utama. Masyarakat yang terus berkembang menyebabkan peningkatan permintaan lahan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Banyak faktor yang dapat mendukung terjadinya sengketa tanah yaitu konflik penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah (Isnaeni, 2017). Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah (Putu dkk, 2022). Perlu adanya tindakan perbaikan dalam bidang penataan dan penggunaan tanah serta kepastian hukum (Putu dkk, 2022). Berdasarkan masalah di atas maka pemerintah memberikan sebuah pembaharuan atau solusi dengan membangun sebuah program yaitu Badan Bank Tanah.
KEMBALI KE ARTIKEL