Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Yang Untung (Buntung) Pilkada (Tidak) Langsung

9 September 2014   23:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:10 74 0
Yang Untung (Buntung) Pilkada (Tidak) Langsung

Oleh: Kasan Mulyono

Komedian dan bintang film Groucho Marx, pernah bilang, politik adalah seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosis secara tidak benar dan memberikan obat yang salah. Sedangkan Napoleon pernah berujar, dalam politik kebodohan bukanlah sebuah penghalang. Sedangkan penulis Kuba, Jose Marti mengatakan: "Tugas pertama seorang manusia adalah memikirkan dirinya sendiri".

Kiranya tiga kutipan politik di atas cukup mewakili perdebatan dua kubu politisi di Senayan tentang opsi antara pilkada langsung dan tidak langsung yang sedang gencar saat ini.

Pertama, sudah tugas politisi memang untuk mencari-cari masalah. Nah, masalah itu adalah pilkada. Mereka temui banyak masalah di mana-mana terkait pilkada ini. Lalu mereka membuat resep-resep untuk mengobati masalah itu. Sialnya, obatnya belum tentu bisa mengobati permasalahan-permasalahan itu. Mungkin bahkan bisa memperburuk permasalahannya. Keduanya sah-sah saja karena seperti kata Groucho Marx, memang begitulah adanya tugas para politisi.

Yang kedua, kalau sudah begitu, berarti solusi-solusi yang dibahas ini adalah suatu kebodohan? Masak sesuatu yang sudah bagus mau dirusak? Atau bahkan sebuah kejeniusan karena mengakui bahwa keputusan yang diambil sebelumnya adalah sebuah kebodohan jadi harus diperbaiki sekarang. Keduanya sah-sah saja karena dalam politik, seperti kata Napoleon, kebodohan bukanlah sebuah halangan namun malah menjadi sebuah terobosan.

Yang ketiga, pada akhirnya adalah what in it for me. Setiap orang memikirkan apa yang dia dapat. Itu juga yang terjadi pada para politisi kita. Tugas pertama mereka adalah memikirkan diri mereka sendiri. Memikirkan rakyat atau negara, memang penting, tapi bukan tugas yang maha utama.

Siapa Untung (Buntung)?

Menyadari realitas dan hakikat para politisi seperti itu, tidaklah perlu kita terlalu memikirkan mana yang benar antara pilkada langsung dan tidak langsung. Keduanya benar. Keduanya baik. Keduanya buruk. Tergantung kita sedang di posisi yang mana. Toh yang buruk bisa diperbaiki lagi nanti. Jadi, yang bakal menang adalah mayoritas, bukan akal sehat. Dalam situasi permainan habis-habisan seperti ini, pemenang mendapatkan semuanya.

Nah, yang perlu kita lihat adalah siapa-siapa saja yang untung dengan opsi pilkada langsung dan siapa-siapa yang untung dengan pilkada tidak langsung. Mereka yang untuk pada satu opsi, berarti rugi pada opsi lainnya. Tidak bisa kedua-duanya. Namun karena sekarang perubahannya adalah dari pilkada langsung ke pilkada tidak langsung, maka pertanyaan pertama adalah siapakah yang buntung bila pilkada dilaksanakan secara tidak langsung. Berikut yang bisa penulis identifikasi:

1) Lembaga survei dan konsultan politik. Bisa dibilang mereka akan gulung tikar. Klien tidak ada lagi. Pilkada bupati saja butuh sekitar Rp10 - 20 miliar untuk jasa konsultan politik. Ada berapa kabupaten di Indonesia? Ada sekitar 500 kabupaten/kota. Jadi ada potensi bisnis sekitar 3 kandidat, dikalikan 500 kabupaten kota, dikalikan Rp10 miliar, sama dengan Rp15 triliun. Wuih! Potensi bisnis yang besar. Mereka akan buntung. Itu pun belum seluruh biaya yang dikeluarkan masing-masing calon yang biasanya sekitar Rp25 miliar per calon. Jadi ada sekitar Rp20an triliun lagi yang dulu beredar dan akan hilang atau berkurang.

2) Jasa pengerahan massa untuk kampanye dan tim sukses. Tim sukses selalu sukses walaupun jagoannya gagal.

3) Perusahaan percetakan yang membuat baliho, spanduk, flier, kartu nama, dll

4) Perusahaan media, terutama TV dan Koran, akan banyak kehilangan pendapatan

5) Dukun dan paranormal akan kehilangan klien. Namun mungkin tukang santet masih mungkin dapat orderan untuk mencelakai lawan.

6) Pemilih, kehilangan hak untuk memilih calon secara langsung. Hak politik dirampas.

7) Pegawai, bakal kehilangan minimal satu hari libur dalam 5 tahun untuk mencoblos.

Pertanyaan kedua, lalu siapa yang untung dengan pilkada tidak langsung:

1) Negara akan untung karena biaya pilkada tidak langsung akan jauh lebih murah. Mungkin tidak sampai 10% dari biaya pilkada langsung. Biaya pilkada langsung per kabupaten sekitar Rp25 miliar. Jadi negara harus keluar uang sekitar Rp12,5 triliiun. Jadi kalau 10% berarti hanya Rp1,25 triliun. Lumayan untuk menutup deficit anggaran.

2) Anggota DPRD terpilih yang sekarang duduk di kursi dewan. Mereka bakal menjadi rebutan para calon bupati. Hukum permintaan dan penawaran berlaku di sini. Permintaan naik, penawaran tetap, maka harga akan naik ceteris paribus. Berapa nilainya? Dengar-dengar untuk tingkat kabupaten di luar Jawa, satu kursi DPRD Kabupaten harganya Rp1 miliar. Ada total 17.560 kursi DPRD kabupaten/kota di Indonesia. Jadi ada peluang uang beredar sebesar Rp17,56 triliun dari kandidat bupati/walkot ke para anggota dewan. Mantap. Pas untuk bayar hutang dan tunggakan modal pileg yang lalu.

3) Partai politik pasti dapat bagian dari transaksi dukung-mendukung para calon bupati dan para legislator. Bisa jadi modal untuk penggalangan konstituen untuk pemilu lima tahun ke depan.

4) Rakyat, untung tidak ikut rebut-rebut soal pilkada. Tidak cekcok dalam rumah tangga karena perbedaan kandidat. Potensi perceraian akibat perbedaan dukungan calon bupati akan berkurang. Pengadilan agama akan senang.

5) Jasa preman akan dapat job karena akan ada order-order untuk mengkondisikan agar anggota DPRD mendukung calon tertentu. Serem.

Secara ekonomi memang, pilkada tidak langsung jauh lebih murah biayanya. Namun ini adalah ranah politik, bukan pertimbangan ekonomi semata. Bukan sekadar perhitungan cost and benefit saja.

Namun, ini adalah politik yang berlaku adalah hukum-hukum politik. Seperti kata politisi Inggris, Lord Acton: kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut korup secara absolut. Sekarang ini siapapun yang memenangkan perdebatan dan akhirnya keputusan politik tentang pilihan pilkada langsung atau tidak langsung, semoga tidak korup, semoga tetap memikirkan nasib bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Kita hanya bisa berharap dan ikhlas. Aamiin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun