Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Posisi dan Strategi Program CSR Pasca UU Desa

9 September 2014   20:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:11 352 0
Posisi dan Strategi Program CSR Pasca Pemberlakuan UU Desa

Oleh: Kasan Mulyono

Dengan diundangkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada 15 Januari 2014, tiba-tiba saja setiap desa dari sekitar 80.000 desa di seluruh Indonesia menjadi desa yang 'kaya'. Ini karena adanya rencana pemerintah untuk mengalokasikan anggaran Rp1 miliar per desa. Wow! Alhamdulillah.

Dengan masuknya dana sebesar itu per desa, apakah intervensi pihak lain dalam pembangunan desa masih diperlukan? Bukankah dengan anggaran Rp1 miliar per tahun, desa bisa berbuat banyak dalam melengkapi sarana umum dan menjalankan roda pemerintahan desa untuk mencapai 'kesejahteraan bersama', 'meningkatkan pelayanan publik', meningkatkan ketahanan social budaya', 'memajukan perekonomian' dan 'memperkuat masyarakat desa' sesuai amanat UU ini? Lalu, dengan kondisi seperti itu, apakah desa masih membutuhkan uluran tangan pihak luar seperti perusahaan dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan (TSP/CSR)? Jawaban singkatnya adalah desa tetap membutuhkan intervensi dan dukungan. Alasannya adalah kebanyakan desa masih tertinggal, kebutuhan masyarakat masih banyak, dan keadaan kesejahteraan masyarakat masih rendah.

Nah, bila perusahaan masih punya peran melalui TSP dalam pembangunan desa, bagaimana strategi dan implementasinya pasca UU 6/2014 ini agar tujuan pembangunan desa dan tujuan CSR perusahaan bisa sejalan dan saling melengkapi?

Ada beberapa kondisi yang menuntut desa dan perusahaan untuk duduk bersama untuk menyamakan pandangan terkait dengan UU Desa ini agar kedua belah pihak memahami posisi masing-masing. Yang pertama dan yang paling penting adalah masalah anggaran desa. Pendapatan desa, sesuai UU Desa salah satunya adalah dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) (pasal 72 angka 1 huruf b). Menurut beberapa politisi, nilai alokasi ini mencapai Rp1 miliar. Nah, bila sebuah perusahaan juga menganggarkan sejumlah dana untuk sebuah desa di sekitar operasi perusahaan, maka harus jelas pemisahan penggunaan dan peruntukannya sehingga tidak tumpang tindih dan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Jangan sampai ada manipulasi anggaran akibat percampuran pembiayaan antara dana pemerintah dan dana CSR seperti yang selama ini sering menjadi kasus hukum yang menjerat kepala desa.

Kedua, setiap desa akan menyusun rencana pembangunan desa jangka menengah (6 tahun) dan tahunan (pasal 79). Di sini program CSR bisa difokuskan pada pendampingan dan pengembangan kapasitas aparat dan masyarakat desa dalam menyusun rencana pembangunan desa dan memasukkan usulan-usulan perusahaan dengan komitmen anggaran sesuai dengan strategi CSR perusahaan. Pada tahap ini harus sudah jelas posisi desa dan posisi perusahaan untuk masing-masing kegiatan pembangunan desa sehingga pada saat implementasi bisa jelas dan tidak mendua.

Yang ketiga adalah tentang Badan Usaha Milik Desa (pasal 87 - 90). Ini akan berdampak pada perlunya penyesuaian lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok usaha masyarakat yang selama ini menjadi binaan atau dampingan program CSR perusahaan seperti kelompok swadaya masyarakat (KSM), kelompok usaha bersama (KUBE), koperasi dll. Dengan adanya BUM Desa ini, apakah kelompok-kelompok tersebut masih diperlukan? Apakah tidak sebaiknya dilebur? Ini yang perlu dibahas juga, termasuk bagaimana kelanjutan pengembangan kelompok-kelompok tersebut dan bagaimana pembiayaannya. Bila BUM Desa ini memiliki usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas, mereka bisa menjadi mitra usaha perusahaan dengan menjual barang atau jasa kebutuhan perusahaan. Risikonya adalah semakin runcingnya persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang sudah ada sementara kue yang dibagi relatif sama dan cenderung mengecil karena efisiensi perusahaan.

Keempat, desa bila melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, termasuk perusahaan (pasal 93). Ini merupakan sarana yang bagus untuk memperkuat dan memformalkan kerjasama-kerjasama yang selama ini sudah terjalin antara desa dan perusahaan. Namun, kerjasama ini harus dilandasi oleh rasa saling menghargai dan komitmen jangka panjang.

Jadi, pasca pemberlakuan UU Desa, ada realitas baru yakni desa akan lebih mampu dan mandiri secara anggaran. Dengan demikian, posisi program CSR perusahaan akan berubah dari dominan dan berada di lini depan; menjadi pelengkap/komplementer dan berada di lini belakang. Nah, pelaku CSR perusahaan harus melakukan adaptasi atas realitas baru ini sehingga di mana pun posisinya, CSR perusahaan bisa berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Dan sudah seharusnya pemerintahan desa dan praktisi CSR perusahaan segera duduk bersama membahasnya sembari berharap dana Rp1 miliar yang dijanjikan tersebut akan benar-benar turun ke desa meskipun pemilu telah lewat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun