Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

“Don’t You Think I Deserve More than Thank You?”

15 Juli 2010   04:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 65 0
Don’t you think I deserve more than thank you?” Kalimat itu meluncur dari seorang pria asing, sesama peserta di sebuah pelatihan di luar negeri. Ketika itu ia baru saja mengantarkan secangkir teh untuk saya, yang saya terima dengan seulas senyum dan ucapan “thank you”.

Kalimat yang diucapkan dengan setengah berbisik itu membuat leher saya menegang. Saya berdiri mematung, memegang cangkir teh yang tidak saya minta dengan perasaan canggung dan gelisah. Ketika ekor mata saya menangkap bayangan Lulu, teman sekamar saya yang berkebangsaan Filipina, tergesa saya menghampirinya dan bertanya, “What do you think he meant by that?
Lulu memandangi wajah saya dan tertawa. “Oh, come on.. It doesn’t take a genius to figure out what he meant by that!

Bak bangun dari mimpi, saya menampar pipi dan berkata pada diri saya sendiri, “Ya ampuun Dewi... Polos apa bodo siiih!!” Meski dilakukan dengan cara yang begitu halus dan ‘sopan’, pelecehan itu begitu nyata. Tak perlu seorang jenius untuk mengerti bahwa kalimat yang baru saja saya dengar adalah sebuah bentuk pelecehan seksual.

Perempuan memang sangat rentan terhadap pelecehan seksual. Yang saya maksud dengan pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan.

Karena sering muncul secara tersamar, kadang seseorang tidak menyadari bahwa ia merupakan korban dari pelecehan seksual. Di sisi lain, banyak orang tidak tahu, atau mengingkari, bahwa pelecehan seksual merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan termasuk suatu bentuk kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Relasi kekuasaan yang melatarbelakangi suatu kasus pelecehan juga menyebabkan korban enggan ‘memperpanjang masalah’ dengan melaporkan kasus yang dialaminya.

Sebuah studi menemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mengakibatkan perempuan berkemungkinan kehilangan pekerjaan tiga kali lebih besar daripada laki-laki. Pelecehan juga dapat dialami oleh laki-laki, namun mereka cenderung mengabaikannya.

Fakta bahwa pelecehan seksual lebih sering dialami dan merugikan perempuan di awali oleh ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Budaya, norma, dan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua di bawah laki-laki. Dari sinilah berbagai isu jender dimulai.

Peristiwa yang saya kutip sebagai ilustrasi di awal tulisan ini sebenarnya merupakan pengalaman pribadi yang cukup lama saya simpan rapat-rapat. Ada rasa marah, malu dan terhina yang saya rasakan setiap kali kilasan peristiwa itu muncul dalam benak saya. Sulit bagi saya menerima bahwa saya telah menjadi korban.

Maka jika akhirnya saya memutuskan untuk menceritakan kembali peristiwa tersebut, itu dikarenakan suatu peristiwa lain yang saya alami baru-baru ini.

Pada sesi tanya jawab setelah saya menyampaikan materi Jender, seorang mahasiswa (pria) bertanya, “Tadi disebutkan bahwa wanita melakukan 50% tugas produktif dan 90% tugas reproduktif. Bagaimana itu bisa disebut sebagai isu jender sementara para perempuan itu ikhlas dan bahagia melakukan semuanya?”

Saya menghargai sikap kritis si penanya, namun dalam hati menyayangkan penyederhanaan masalah yang dilakukannya. Ia mengabaikan data lain yang telah saya paparkan sebelumnya, bahwa setiap menit satu perempuan meninggal saat hamil, melahirkan, atau dalam minggu kritis paska persalinan, karena sebab-sebab yang bisa dicegah bila saja suami dan orang-orang di sekitarnya lebih peduli.

Saya menarik napas panjang dan menjawab: “Bayangkan notebook kesayangan kamu. Kamu membawanya kemanapun kamu pergi. Kamu menyimpan gagasan dan rahasia-rahasiamu di dalamnya. Begitu berartinya notebook itu hingga kamu memperlakukannya dengan hati-hati dan merawatnya sepenuh hati. Sekarang bayangkan seorang ibu yang mengandung anaknya selama sembilan bulan. Betapa kuatnya ikatan yang terbentuk antara ia dan anaknya. Karena itu ia rela melakukan apa saja untuk keluarganya, terutama anak-anak yang tumbuh di rahimnya, meski itu berarti mengorbankan kesehatan bahkan nyawanya sendiri.”

Saya terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Perempuan mungkin tidak mengeluh meski menanggung beban ganda tugas produktif dan reproduktif setiap hari. Tapi tidak perlu menunggu seorang perempuan jatuh pingsan, sakit, atau meninggal dunia untuk menyadari betapa tidak manusiawinya membiarkan seorang perempuan yang sedang hamil tua mencurahkan tenaga untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, sementara suami dan laki-laki dewasa lain di keluarga itu duduk menonton TV sambil menikmati sebatang rokok..”

Saya tahu jawaban saya terdengar sangat emosional. Jawaban panjang lebar itu dibayangi kekhawatiran bahwa saat itu mungkin merupakan satu-satunya kesempatan saya untuk membangun pemahaman tentang pentingnya relasi jender yang egaliter di benak para mahasiswa tersebut. Namun ketika saya menyapu hadirin dengan memandang mata mereka, entah kenapa saya percaya bahwa setiap orang yang hadir di ruangan tersebut telah mendapatkan pencerahan.

Isu jender bukan semata-mata masalah perempuan. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati hidup dan kehidupan yang sejahtera dan membahagiakan. Untuk itu, sebagai sesama makhluk Tuhan, laki-laki dan perempuan mestinya membangun relasi yang dilandasi oleh rasa hormat dan penghargaan satu sama lain. Saya berharap pengalaman tidak menyenangkan yang saya ceritakan di awal tulisan dapat menggugah kesadaran bahwa kita semua memiliki andil untuk mewujudkannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun