Dia menjawab :"Cinta itu tidak harus memiliki, cinta yang paling muliya itu harus berani membebaskan, memberi dia (kekasih) anda menentukan jalan sendiri yang terbaik menurutnya. Di situlah esensinya mencintai itu". Tiba-tiba saya terpesona, betapa pemuda ini menjadi sangat bijaksana. Kalau saya bandingkan dengan para Tokoh agama itu, si pemuda ini ternyata jauh lebih bermoral. Para tokoh agama itu yang katanya mencintai umat seagamanya , malah sering marah-marah bila ada umat yang memilih jalan sendiri, bahkan sampai ada yg mengancam bunuh segala. Bukankah para tokoh agama itu yang sebenarnya gila, jika dibandingkan dengan pemuda ini. "Betul-betul ungkapan yang sangat bijak" pikir saya dalam hati.
Lalu saya tanya dia, "Kalau anda begitu bijaknya sekarang ini, mengapa anda tidak mandi-mandi selama setahun ini dan memotong rambut anda?". "Hahahahahaha, anda ini gila ya. Sekarang ini saya mencintai diri saya sendiri, makanya saya membebaskan diri saya sendiri" ucapnya sambil tertawa sekeras-kerasnya sehingga menampilkan barisan giginya yang kuning kehitam-hitaman itu. Saya kaget setengah mati. Sekarang siapa yang gila sebenarnya. Saya, Para Tokoh Agama itu, Pemuda ini, atau orang yang membaca tulisan ini.
Kemudian dari kejauhan dari depan rumah saya, sayup-sayup saya dengar suara teriakan istri saya : "Eh soepomo bahlul, kamu udah gila ya. Masak orag gila di ajak ngobrol."
Di angkat dari kisah nyata. soepomo kartolo.