sumber ilustrasi http://annida-online.com
(cerpen ini pernah dimuat di majalah di Annida)
Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.
“Motor baru rupanya,” celetuk Mak Ratmi ketika aku menstater motor matikku.
“Pantas saja,” timpal Ridah.
“Besok apa lagi, nih yang baru,” Mbok Wari tak mau kalah.
Tak kupedulikan mulut ular mereka. Cepat-cepat aku memacu gas motorku. Benar saja ibu melarangku mengendarai motor kalau hanya ke warung. Tapi, toh waktu tak bisa mundur. Semua sudah tak mungkin diulur. Aku telanjur sakit hati. Dan ini semua salahku. Padahal jalan kaki tak akan membuat mati. Mengapa memilih melaju dengan matik?
Susah payah menabung dari hasil kerjaku sebagai asdos, matik putih itu kubeli. Itu pun kredit. Sekarang dengan entengnya mereka menuduh kalau matikku ini dibeli dengan uang kas masjid. Ingin rasanya kulumatkan saja mulut mereka yang tak beretika. Berkicau begitu saja tanpa peduli perasaan.
Seorang anak koruptor. Itulah sikap tubuh mereka padaku. Seperti sudah terlabel di mukaku, mereka mengucilkanku. Bukan hanya aku, tapi juga ibuku. Seringkali kulihat mata ibu sembab. Pasti hati ibu juga telah terlukai karena mulut ular mereka. Ibu memang tak setegar diriku. Dia begitu lemah dan rapuh. Tak berani membalas kata pedas mereka. Ibu tak memilih menyulut api. Ibu lebih memilih terbakar di dalamnya.
“Kalau ibu terus begini. Kita akan semakin terhina, Bu. Padahal kita tahu Bapak tak mungkin melakukan itu!” tuturku menaikkan nada suaraku satu oktaf.
Ibu tak bereaksi. Dia hanya menatapku dengan mata berembun. Lantas mengusap sisa air mata di pipinya. Jika sudah seperti ini, tatapan matanya akan melemahkanku. Juga membuatku ragu. Kali ini, akukah yang salah menilai bapak?
Seolah mengerti dengan gemuruh dalam dadaku. Pelan ibu menepuk pundakku. “Ibu juga sudah mengatakan pada Bapakmu untuk menuruti kemauan mereka.”
Aku diam. Menekuri ujung jari-jari kakiku. Aku memang pernah dengar cerita itu dari ibu. Bapak sebagai bendahara kas masjid menolak untuk merenovasi masjid. Alasannya sederhana, masjid sudah lebih dari layak. Jamaah masih bisa beribadah dengan nyaman. Lantaran itu mereka menuduh bapak menggelapkan uang masjid.
Kali ini jalan pikiran bapakku memang tak bisa aku mengerti. Apa toh, susahnya menuruti kemauan mereka. Aku pun yakin, uang itu masih tersimpan di bank. Tidak diselewengkan oleh bapak.
Sudah hampir magrib bapak belum juga pulang. Padahal ingin sekali aku memberondongnya dengan pertanyaan. Rasanya aku dan ibu sudah cukup lelah dengan tuduhan itu. Mungkin bapakku masih kokoh. Bersikap cuek seolah mereka tak bermulut beo. Bersikap biasa saja meskipun berjuta kali mereka menyindirnya.
Rasa penasaran mengusikku untuk menyelinap ke kamar bapak. Aku ingin melihat buku tabungan kas masjid. Aku tahu, buku itu tersimpan di laci bawah lemari baju bapakku. Aku ingin memastikan saldonya masih utuh.
Pelan sekali aku menarik ganggang laci. Tapi masih saja berderit. Belum lagi kecoa yang tiba-tiba melintas di depan kakiku. Hampir saja membuatku menjerit, tapi itu tak mengurungkan niatku. Sayangnya sebelum aku menemukan buku tabungan itu, ibu memergokiku.
“Apa yang kau cari di lemari Bapakmu?” ibu mulai memburuku. Aku gagap. Untuk meringis saja susah.
“Sstttt…pelankan suaramu, Bu,” balasku seraya menempelkan jari telunjuk ke bibirku.
Ibu hanya mengedikkan bahu. Lantas matanya berkedip-kedip menatapku.
“Aku hanya ingin melihat buku tabungan itu.”
Lantas ibu cepat-cepat menarikku ke luar dari kamar. Kulihat dada ibu naik turun. Mungkin tak mengira dengan apa yang kulakukan barusan. Memang sikapku seolah aku tidak memercayai bapak.
“Kamu sudah dua puluh dua tahun. Selama itu, apa pernah Bapakmu berbuat kotor seperti itu?”
“Tentu saja tidak, Bu. Tapi aku…,” tak kulanjutkan kalimatku. Aku tahu jika kulanjutkan apa konsekuensinya. Aku tak ingin mereka menang. Senang melihat kami bertengkar lantaran kabar burung.
Tak lama setelah itu, bapak pulang dengan wajah berseri. Tidak sedikit pun terlihat kalau dia tengah menjadi pusat pergosipan di desa ini. Kulihat tangan kanannya membawa kantong kresek. Setelah memberi salam, bapak meletakkan kresek itu di atas meja makan. Menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Sebenarnya apa maksud Bapak menolak usulan mereka? Apa benar Bapak telah memakai uang itu?” cecarku.
“Tentu saja tidak,” jawab bapak singkat. Lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkanku dalam tanya yang belum terpuaskan.
Kalau memang uang itu masih ada. Mengapa pula Bapak tidak segera mengiyakan usulan mereka. mengganti kubah masjid dengan yang baru dan membeli AC. Kurasa jika itu terlaksana, masjid di desaku akan mendapat rekor dari MURI sebagai satu-satunya masjid termewah di desa. Sepertinya itulah obsesi para penyumbang dana besar. Desaku adalah desa industri. Wajar, jika banyak bos tinggal di sini.
Sedang bapakku hanya pegawai negeri di kantor pemerintahan. Uang yang disumbangkan bapak untuk pembangunan masjid tak seberapa jika dibandingkan dengan pemberian para pemilik modal. Sudah lima tahun bapak menjadi bendahara kas masjid. Mulai dari pembangunan masjid semua lanjar saja. Bapak menyetujui usul mereka, namun saat ini bapak dengan tegas menolak usulan mereka. Tidak perlu, kata Bapak.
***