Maka pada tahun 1964, sosok yang semula berkarir sebagai diplomat itu lebih memilih jalan hidup sebagai pengusaha pelayaran. Pada awalnya, usaha untuk mendapatkan ijin sebagai perusahaan pelayaran tidak mudah. Ini karena adanya hambatan-hambatan yang diciptakan komplotan komunis (Suwondo Budiardjo, Ismoyo, Abdulrachman) di pemerintahan pada saat itu. Namun karena semua persyaratan sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 5 tahun 1964, komplotan tersebut tidak bisa menghambat berdirinya Samudera Indonesia.
Sedikit catatan, sebelum tahun 1965, polarisasi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kekuatan politik yang anti komunis semakin terbuka, jelas dan tajam. PKI melalui Front Nasional mengusulkan pembentukan “Angkatan Kelima” yaitu satuan tentara petani dan buruh di bawah kendali PKI, tapi usul itu serta-merta ditolak.
Dalam keadaan genting antara tahun 1964-1965, pemerintah Soekarno bertekad melaksanakan program pengembangan di bidang perhubungan laut melalui PP No 5/19645. Pemerintah Soekarno ingin membentuk suatu armada niaga yang kuat dan tangguh. Untuk melaksanakan policy itu diangkatlah Ali Sadikin, seorang perwira tinggi dari KKO (Korps Komando) TNI AL sebagai Menteri Koordinator Pelayaran. Penunjukan Ali Sadikin dinilai tepat karena merupakan sosok apolitis sehingga bisa melawan manuver politik yang dijalankan kader-kader komunis.
Pasca peristiwa G30S/PKI, kader-kader komunis seperti Soewondo Budiardjo dan Ismoyo ditangkap dan dipenjarakan rezim Orde Baru. Pengaruh dan kekuatan kaum komunis di pelayaran pun ambruk.
Setelah mendapat ijin usaha pelayaran, Soedarpo Sastrosatomo terus berjuang agar perusahaan pelayarannya tersebut bisa terus eksis. Dia pun mengandalkan dua sumber pendapatan (cash cow), yakni dari keaganen dan stevedoring. Untuk keagenan, Samudera Indonesia menjadi agen dari perusahan pelayaran internasional pada saat itu seperti American President Line (APL), Hapag-Lloyd, Isthmian Lines, dan Tokyo Senpaku-Kaisha yang mengangkut barang-barang ekspor impor dalam jumlah besar.
Untuk bongkar muat barang ekspor impor tersebut, Soedarpo memposisikan perusahaannya sebagai stevedoring. Dengan demikian, Samudera Indonesia menangani semua proses penerimaan,pembongkaran, dan pengiriman barang ekspor impor sehingga ada tambahan pemasukan pendapatan untuk operasional perusahaan.
Dengan dua sumber pendapatan itu, Samudera Indonesia bisa terus bertahan dan bertumbuh untuk ekspansi. Hal ini berjalan baik hingga tahun 1980-an.
Dengan kegigihannya itu, Samudera Indonesia kerap mendapat predikat sebagai perusahaan pelayaran terbaik dibandingkan dengan perusahaan pelayaran lainnya.
Yang menarik, sebagai sosok yang semula dikenal sebagai aktivis pejuang, keterlibatan Soedarpo dalam bisnis pelayaran rupanya juga memancing komentar presiden pertama Indonesia, Bung Karno pada saat itu.
Tatkala menghadiri acara pernikahan putrinya Bung Karno, Sukmawati di bulan Februari 1970, sang proklamator itu sempat meledek Soedarpo. “Hai kapitalis, wis sugih durung kowe?” Karena sudah hafal gurauan canda ala Soekarno itu, Soedarpo tidak lagi kaget. Dia hanya tersenyum. Bagi Soedarpo, gojekan-gojekan yang terlontar dari mulut Soekarno masih seperti ketika Soekarno berkuasa.*** [bersambung]