Ia menjetikkan rokok di bawah meja kafe itu, menyeruput segelas kopi luwak hitam. Pahit. Jemarinya lincah mengetikkan sesuatu di atas laptopnya.Sesekali blackberry nya berkedip-kedip.Ia melihat tak tertarik.Ipadnya berbunyi lagi, diliriknya sekali dan tangannya sibuk mengetik di laptop.Ia duduk di meja ujung di kafé itu yang telah menjadi tempat favoritnya, yang agak terpisah dan di dekat jendela. Dari situ ia bisa menikmati cahaya dari berbagai lampu.Kepadatan Kota Pontianak dari atas, lantaitiga belas. Kafe favoritnya.
21.30
Ia membetulkan riasan make-upnya sekali lagi.Berminyak sehabis rapat-rapat di kantor yang melelahkan, diskusi-diskusi panjang membuatnya gerah, sekalipun ruangan kantornya ber-ac. Ia memesan cappuccino.Duduk di meja ujung. Meja favoritnya, dimana sedikit privasi bisa ia dapatkan dan orang yang lalu lalang tidak sibuk memandanginya dari atas hingga bawah sehingga ia pun tidak perlu memelotototi orang-orang tolol itu balik. Diseruputnya cappuccinonya sedikit, menyelesaikan pekerjaan, memperbaiki beberapa pekerjaannya. Ia termenung memandangi jendela yang berpemandangan kepadatan Kota Pontianak. Kafé itu di lantai tiga belas. Suara live music dari penyanyi kafé itu menggema-gema. Mengingatkannya akan sesuatu. Yang sudah lama tidak ingin diingatnya. Yang sudah tersimpan di relung-relung hatinya sebelum ia bisa mengingat bagaimana rasanya.
4 Tahun yang lalu
Kafe itu baru diresmikan tadi malam, sebuah kafe yang unik yang terletak di lantai tiga belas sebuah gedung, memiliki arsitektur yang unik karena memiliki jendela-jendela besar yang berpemandangan seluruh Kota Pontianak, dari jendela itu dapat terlihat pula jembatan sungai Kapuas dan jembatan sungai landak, serta kepadatan lalu lintas, kafe yang berasitektur elegan dan mengatur kursi dan meja yang sedemikian pas agar setiap tamu bisa santai menikmati suasana.Suara musik meraung-raung. Jam menunjukkan tepat pukul 20.00 ketika semua lampu tiba-tiba dimatikan.Hingga yang tersisa adalah cahaya dari seluruh dinding kafe, terlihat lampu-lampu di seluruh kota dan pemandangan langit yang sudah gelap.Lalu sosok remaja lelaki itu muncul dari ujung bar, membawa sebuah lilin yang ditancapkan di kue tart yang besar. Tertulis , Happy Birthday my beloved girl, Keira Karenina.
20.00
Ia melirik jam tangannya. Ia memesan kopi luwak lagi.Menyelesaikan pekerjaan kantornya. Lalu mematikan blackberry dan ipad yang dibawanya.Ia menghela nafas, termenung.Sesekali jemarinya mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama lagu yang dibawakan penyanyi kafe itu.Di meja ujung itu, ia meredupkan laptopnya, lalu termenung lagi memandangi cahaya yang mondar-mandir yang tampak sibuk di bawah jendela, tapi entah kenapa cahaya yang sibuk bergerak-gerak itu justru membuatnya merasa aman.Tatapannya menerawang.Tiba-tiba handphone kecilnya berbunyi. Ia mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas.Ia melihat handphone kecilnya.Pukul 21.00, alarm handphone kecilnya itu berbunyi nyaring. Hampir saja ia lupa.
21.30
Menjadi wanita karier itu tidak mudah.Banyak hal yang harus ia sisihkan demi prioritas-prioritas.Pertemuan keluarga dan kerabat dekat menjadi momok.Tuntutan-tuntutan sosial.Mulut-mulut yang berbicara sedemikian rupa yang keluar dari wanita-wanita yang mulai kehilangan fokus dan arah. Mulut-mulut itu. Bisa menjadi sangat berbahaya.Pesanan cappuccinonya datang lagi.Ia menghirup bau coklat, susu dan kopi yang kental dalam gelas cappucinnonya yang panas.Wajah ibunya terbayang-bayang dalam laporan keuangan yang harus selesai malam ini juga. Ia termenung lagi, menghela nafas. Menatap lagi jalan yang dipenuhi lampu-lampu kendaraan.Mungkin untuk sekali ini. Prioritasnya harus diubah kembali.
20.00
Lelaki itu masuk dengan muka kusut.Mengambil tempat duduk biasa.Menyelonjorkan kaki dan menyusun barang-barangnya seperti biasa. Kotak rokok, blackberry, ipad, Samsung galaxy tab dan laptop.Serta tidak lupa memesan segelas kopi luwak.Diisapnya rokoknya dalam-dalam. Menghela nafas.
4 tahun yang lalu
Satu demi satu teman-teman menjabat tangannya.Ada yang memberikan ucapan selamat, ada yang memuji wajah dan gaunnya yang terlihat sangat mempesona, ada yang mengatakan sangat iri kepadanya karena ia memiliki segalanya, terlebih kafe yang sangat bagus yang telah didesain sedemikian rupa di lantai tiga belas ini mengundang decak kagum karena menggunakan desain modern dan sesuai dengan selera pasar.Ia hanya tersenyum.Tidak menjawab dan melayani ajakan ramah beberapa temannya untuk ikut tenggelam dalam disc jockey yang disewanya khusus malam ini.Ia hanya menunggu lelaki itu.Lelaki yang membawakannya kue tart, lelaki yang berusaha menyiapkan kejutan sekalipun sebenarnya ia sudah tahu. Memasang wajah palsu di depan orang banyak itu. Cukup mudah.
21.30
Perempuan itu memasuki kafe.Meletakkan tas nya di meja paling ujung favoritnya.Lalu ia melihat kotak rokok keemasan.Mungkin punya pelanggan yang tertinggal.Ia melirik kotak rokok keemasan itu.Inisialnya AR.Hatinya bergemuruh.
20.00
Kali ini Arman tidak mau lagi ke kafe itu.Ia sudah bosan. Muak. Kafe itu memang membang-kitkan memorinya tentang kisah cintanya jaman SMA.Tapi sekedar itu, ia hanya menyukai perasaan itu.Mungkin kali ini ia harus mencoba menghabiskan waktunya di club. Handphonenya berdering nyaring.Ia melirik, alarmnya berbunyi, pukul 20.00.Ia mengambil handphone kecil yang khusus untuk istrinya itu. Lalu dilemparkannya di tong sampah. Mungkin sudah waktunya.
4 tahun yang lalu
Keira melirik jam tangannya. Beberapa menit lagi.Masih ada harapan beberapa menit lagi.Ia mondar-mandir gelisah. Ia melihat tiket pesawat Pontianak-Australianya.Mungkin masih ada kesempatan.Ia memang jarang beribadah.Tapi ia sering berdoa. Kali ini ia berdoa.Agar lelakinya datang tepat pada waktunya.
Lelaki itu mondar-mandir gelisah. Diliriknya jam tangannya sekali lagi.30 menit.Lama perjalanan dari rumahnya ke bandara supadio.Terkejarkah?. Badannya lemas, kesempatannya tinggal 10 menit lagi.Jika ia masih ingin mengejar perempuan yang dikaguminya dan telah lama dicintainya.TInggal 10 menit lagi.Ia menggenggam kunci motornya.
21.30
Sudah larut malam.Tidak ada lagi bunyi handphone yang akan berbunyi, mengingatkannya untuk pulang.Handphone yang dipasangnya tepat pada jam 20.00 setiap malam.Agar ia ingat pulang.Agar ia tidak lupa akan seseorang yang menunggunya di rumah.Agar ia tidak lupa kenangan pahit setiap kali ia melihat wanita itu.Maka yang diingatnya adalah wajah-wajah keluarga dalam acara keluarganya yang selalu mempertanyakan kapan ia akan menikah.Wajah-wajah keluarganya yang menjadikan status lajangnya sebagai bahan gurauan.Ia mungkin masih bisa menutup telinga dan tak perduli.Tapi orang tuanya tidak. Malam ini ia harus tidur di suatu tempat yang jauh dari rumah.
Hari ini ibu Keira datang mengunjunginya di kafe lantai tiga belas itu.Kafe yang susah payah didirikannya sebagai mimpinya sejak kecil untuk mempunyai bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan sekaligus bisa dinikmatinya secara pribadi.Beberapa jam lagi ibunya akan tiba, setelah 30 menit perjalanan dari bandara supadio.Ia mengambil meja yang ada di tengah-tengah kafenya.Meja yang dibuat khusus di tengah-tengah kafe yang dibangun seperti pondok kecil yang dilingkari oleh air mancur yang penuh ikan mas koki.
4 tahun yang lalu
Kadang-kadang, aku selalu bertanya-tanya, kenapa manusia sulit menerima perbedaan.Kenapa masih ada tembok-tembok antar manusia yang mereka bangun sendiri bukan untuk mendamaikan kehidupan mereka,tapi justru mempersulit keadaan.Kenapa kadang apa yang diingkinkan bertentangan dengan apa yang diharapkan.Kenapa harus ada yang berbeda di antar kami.Di kafe meja paling sudut itu aku berdoa, dia juga berdoa. Dalam tatapan kami.Kami berdoa dengan harapan yang berbeda.
07.00
Ia mengemaskan barang-barangnya.Perempuan manis yang dinikahinya setahun lalu itu hanya tersenyum pahit sambil membantunya mengeluarkan pakaian dari lemarinya.Maaf.Ia masih tidak mengerti perasaan dan pikiran perempuan itu.Ia, sama seperti dirinya.Hanya dipertemukan.Antar orangtua dan orangtua. Mereka banyak sekali memiliki kesamaan.Latar belakang yang sama.Pendidikan yang sama.Kepercayaan yang sama.Tapi mengapa ia masih merasa ada yang begitu asing.Ada yang masih sangat jauh berbeda.Ia dan perempuan itu tahu sejak pertama mereka diperkenalkan.Dan karena itulah ia dan perempuan itu masing-masing mengambil jarak.Jarak yang tidak bisa ditembus satu sama lain. Setiap pagi, perempuan itu hanya menyediakan kopi hitam pahit. Lalu berdesir pergi bekerja, sorenya perempuan itu aktif dalam organisasi dan berkumpul bersama teman-temannya. Seperti ia juga bersama teman-temannya.Lalu malam, jam 20.00 perempuan itu pulang.Seperti ia juga harus pulang.Lalu mereka menonton berita di ruang tamu sebentar, lalu tersenyum dan bekerja di ruang kerja masing-masing.Dan tidur di kamar tidur masing-masing.Tanpa banyak bicara.Setiap hari.Dan kini, kopi yang masih panas terhidang di meja ruang makan.Sudah mendingin.
Perempuan itu tahu.Dari setiap pertemuan-pertemuan keluarga, pertanyaan-pertanyaan usil yang mempertanyakan kapan ia akan segera menikah mengganggu telinganya.Ia masih memilki mimpi.Terlalu banyak mimpinya yang harus direalisasikan sebelum ia menikah.Dan tergantung secara emosional kepada seseorang.Ia masih mengejar untuk pergi ke Paris, kota impiannya.Dan menggeluti kesenangannya mengajar.Beasiswa itu harus ia dapatkan. Ia sudah tahu ia akan mendapatkannya.Namun tatapan mata kedua orangtuanya yang saling bertukar pandang ketika ia mengutarakan rencananya membuatnya mengetahui ada sesuatu yang tidak beres.Sesuatu yang besar yang tidak beres.Ia menikah seminggu kemudian.
21.30
Keira menatap mata ibunya.Mata ibunya yang tidak seperti yang diingatnya.Mata yang memancarkan kepercayaan diri dan kemandirian.Kini sudah mulai agak meredup.Ia lalu memegang tangan ibunya.Mengatakan bahwa sudah saatnya ia saja yang mengurusi perusahaan.Ibunya sudah terlalu tua untuk mengurus hal-hal itu.Ibunya tersenyum.“Kamu sudah bekerja banyak nak, sebanyak yang kau bisa, sekarang saatnya kau juga perlu berbuat sesuatu untuk dirimu sendiri…” Ia memalingkan wajah, berharap ibunya tidak melihat pendar air mata yang akan mengalir dari pelupuk matanya.
20.00
Hari ini ia berpakaian rapi, wangi. Lalu memesan kopi lagi.
21.00
Pekerjaan hari ini selesai, ia mampir mengunjungi kafenya.Ingin minum cappuccino.
21.10
Meja itu sudah terisi.Seorang lelaki berpostur tegap. Tiba-tiba perasaan berdesir muncul di dalam hatinya. Ia menepuk pundak lelaki itu.Mereka berpandangan.Tersenyum. Sudah mengetahui isi hati masing-masing.Akhirnya penantian panjangnya selesai.
21.20
Kopinya sudah habis.Ia melirik jam tangannya.21.20.ada lubang menganga besar di hatinya.
05.00
Ia bangun agak terlambat.Lalu ia berdoa.Kali ini ia berdoa dengan sungguh-sungguh.Agar ia dapat menemukan jalannya yang hilang. Setelah selesai ia berdiri.Duduk di teras.Terngiang-ngiang.Ia masih bisa mencium aroma kopi pahit yang dibuatkannya setiap pagi.Sekalipun ia tidak pernah meminta. Sekalipun ia tidak pernah berterima kasih.Sekalipun mereka jarang berbicara.Istrinya yang selalu ada di rumah tidak lebih dari jam 20.00 setiap malam.Istrinya yang duduk berkutat dengan laptopnya bekerja dan benar-benar menikmati pekerjaannya.Istrinya yang hanya diam.Ketika mereka jarang berbicara dan ia langsung memilih untuk menempati kamar tamu.Istrinya yang tanpa banyak bicara seperti menjadi orang yang paling memahami dirinya.Istrinya yang tahu makanan kesukaannya, istrinya yang selalu menyempatkan membereskan kamarnya setiap ia pergi kerja.Istrinya yang tidak pernah banyak bertanya mengapa.Istrinya yang tidak pernah banyak bercerita.Istrinya yang tidak pernah banyak meminta. Istrinya yang tidak pernah menuntut apa-apa.Selain kehadirannya jam tujuh pagi duduk di meja makan menikmati kopi pahit buatannya.
07.00
Ia mengetuk pintu.Perempuan itu membuka pintunya.Terkejut sebentar.Lalu tersenyum.Kali ini tidak seperti senyum yang biasa diperlihatkannya ketika orang-orang mempertanyakan rumah tangganya dan pernikahannya yang tiba-tiba.Senyum itu tulus.Dari lubuk hatinya yang paling dalam.Ia tahu.Ia sudah tahu.Di meja keluarga.Secangkir kopi pahit.Tersedia di tempat biasanya.Arman sudah tahu dari dulu.Kopi pahit itu adalah kopi terlezat yang pernah dirasakannya.Mengalahkan kopi luwak kesukaannya di kafe di lantai tiga belas itu.
4 tahun yang lalu
“Kamu mau kan menunggu aku?,” “Tentu saja,” “4 Tahun lagi Kei, 4 tahun lagi aku akan selesai kuliah,” “Aku tidak tahu Ario,” “Mungkin, mungkin… Aku tidak bisa menunggu.” …
Malam ini jam 20.00, meja di sudut kafe itu kosong.Seorang lelaki yang baru masuk melihat-lihat sebentar.Kali ini ia ke kafe itu berdasarkan anjuran temannya yang mengatakan pemandangan bagus di kafe itu mungkin bisa menyibukkan pikirannya untuk lepas sebentar dari masalah hidupnya. Padangannya tertuju ke meja sudut di kafe itu.Sepertinya pemandangannya indah.Ia memesan segelas teh.Lalu duduk.Termenung memandangi kepadatan kota Pontianak.Memulai sebuah episode.Dan sebuah cerita baru.