Tentram setelah maaf-memaafkan
Dalam skala antar ras, bagaimana manusia menjalani kodratnya untuk saling memaafkan tergambarkan dalam sekumpulan kisah mengharukan di Rwanda, Afrika Tengah. Beberapa di antaranya diceritakan kembali di sini.
Pada Mei 2014, melalui proyek esai fotonya yang bertema ‘Rwanda 20 Years’, Pieter Hugo, fotografer New York Times, mengisahkan proses rekonsiliasi yang berlangsung di Rwanda; sesuatu yang hampir tak mungkin diharapkan akan terjadi. Pada 1994, kedua etnik Rwanda, Hutu (ras mayoritas) dan Tutsi (ras minoritas) bertanggungjawab atas terjadinya genosida yang menelan korban jutaan nyawa warganya.
Di salah satu foto ditampilkan warga kedua etnik yang bertentangan, Sinzikiramuka dan Karorero, berdiri berdampingan, melambangkan terjadinya permaafan di antara kedua suku, dan menggambarkan betapa kehidupan keduanya kini saling terjalin (Gb. 3).
Di foto lainnya, seorang wanita menyandarkan tangannya di bahu orang yang membunuh ayah dan saudara-saudaranya (Gb. 4). Ada pula seorang wanita berpose bersama seorang pria yang tengah berbaring santai, orang yang menjarah propertinya, dan yang ayahnya telah membunuh suami dan anak-anaknya (Gb. 5). Pada sejumlah foto, jelas terlihat ada secercah kehangatan di antara mereka yang tadinya saling bermusuhan. Tiap foto mencerminkan permaafan yang diberikan kepada warga Hutu oleh warga Tutsi yang selamat dari kejahatannya.
Tiap orang yang sepakat untuk difoto ini merupakan bagian dari upaya nasional menuju rekonsiliasi berkelanjutan, bekerja sama dengan AMI(Asosiasi Modeste et Innocent), sebuah organisasi nirlaba.
Dalam program AMI, kelompok-kelompok kecil dari suku Hutu dan Tutsi melakukan konseling selama berbulan-bulan, yang berujung pada permintaan maaf resmi dari pelakunya. Jika pengampunan diberikan oleh pihak korban, maka pelaku bersama keluarga dan teman-temannya akan membawa sekeranjang persembahan (offerings), biasanya berupa makanan dan sorgum atau bir pisang. Acara kesepakatan itu ditutup dengan nyanyian dan tarian.
Lewat foto-fotonya, Hugo ingin menyampaikan, bahwa di antara tiap pasangan dalam foto, yaitu antara korban dan pelaku kejahatan, terdapat tingkat hubungan yang bervariasi. Beberapa pasangan datang ke tempat pemotretan dan duduk bersama-sama dengan leluasa, mengobrol tentang gosip desa. Lainnya hanya bersedia difoto, tapi tidak mampu beranjak lebih jauh (move on). Menurut Hugo:
“Jelas ada derajat permaafan yang berbeda-beda.”
“Foto-foto ini secara akurat mengabadikan kedekatan ataupun kesenjangan di antara tiap pasangan.”
Tidak ada yang bisa damai seorang diri
“Kita adalah daun-daun berbeda dari pohon yang sama, bintang-bintang berbeda dari langit yang sama.” —Thich Nhat Hanh
Dari berbagai vignet kehidupan di atas, tersisa sebuah pertanyaan: masih bisakah manusia, baik ia korban perlakuan buruk maupun pelaku kejahatan, yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri? Reki, karakter utama dalam HaibaneRenmei, merasa putus harapan dalam menemukan kedamaian, ia lalu menempatkan dirinya terisolasi dari orang lain.
Ia yang terikat dengan kesalahannya (sin-bound) terperangkap dalam-dalam di jejaring depresi, kecemburuan, kebencian diri (self-hatred), dan tidak mampu berpaling ke orang lain untuk bisa memperoleh dukungan. Hanya karena campur tangan Rakka (diam-diam), akhirnya terbuka pintu maaf dari Hyoko, yang membebaskannya dari penderitaan berkepanjangan.
Dan seperti difatwakan oleh orang tua bijak dalam film itu, Sang Komunikator, mengenai bahwa ‘one cannot forgive oneself’, yang mengandung makna agar setiap orang merawat yang lainnya, sebab hanya orang lain yang akan memelihara kita. Konsep Lingkaran Dosa (Circle of Sin) menjelaskan bahwa sepanjang seseorang tidak mampumemaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang dilakukannya, maka hanya seseorang yang dekat dengannya yang mesti membantunya.Sejalan cahaya yang menerangi hati Kampundu, yang seluruh keluarganya habis dibantai oleh warga Hutu: “Alasan saya memberikan maaf, karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri di dalam sepi—kalau saya sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.”
Dalam dimensi spiritual, pesan Kartini seratus tahun lalu:
“Kita sekalian bersaudara bukan karena kita seibu-sebapa kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, yang bertahta di atas langit.”[1]
———
[i] Keluarga korban pembunuhan di Iran dan beberapa negara Muslim lainnya sering dihadapkan pada pilihan kata terakhir mengenai apakah sipembunuh dibiarkan tetap hidup atau dihukum mati. Konsep hukum Islam mencantumkan ‘qisas’ atau pasal mengenai ‘mata diganti mata’ yang memberi mereka peluang untuk mengawal jalannya eksekusi. Mereka juga mempunyai pilihan untuk memberi pengampunan, dengan imbalan pembayaran sebesar 35.000 dolar AS atau lebih (blood money). Membatalkan qisas dipandang sebagai tindakan amal dan kesempatan untuk menebus dosa seseorang. Dalam kasus pembunuhan di Iran, pilihan diserahkan kepada keluarga korban, bukan pemerintah.
———
[1] Sutrisno, Ny. Sulatin.Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Penerbit Djambatan, 1979, h, 18–19 [kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 6 November1899]
———
Referensi
Yoshitoshi ABe. Haibane Renmei, 2002.
Adam Schreck & Amir Vahdat. Iran mother recalls actof mercy for son’s killer. Associated Press, bigstory.ap.org.