Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berteman dengan DjiSamSoe di Bali: Made, Komang, Ketut

21 Juni 2013   04:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40 272 1

Di usiaku yang menginjak seperempat abad, aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamaku dan pindah ke salah satu area yang dianggap memiliki budaya paling rumit dan mengakar di Indonesia, Bali. Di sana aku memulai usaha bersama teman kuliah.

Perasaan aneh dan bersemangat tidak terasa sampai kakiku benar – benar sudah menginjak tanah di Bandara Ngurah Rai. Peluang bahwa aku bisa menjelajah ke seluruh penjuru Bali, memiliki teman di sana, belajar menari Bali, atau melukis ala Bali, tidak terpikirkan sampai aku sudah berada di dalam mobil menuju tempat tinggal kami. Waktu masih kerja dulu, sehari – hari aku terbiasa sibuk. Saat pagi datang ke kantor dan mulai bekerja, aku tidak perlu waktu pemanasan seperti kebanyakan orang  untuk mulai bekerja. Yang ada, setiap hari aku berusaha secepat dan setepat mungkin menyelesaikan pekerjaan, karena setelah dari kantor hampir setiap hari aku punya jadwal kegiatan organisasi, komunitas, atau bertemu dengan kenalan. Maka setelah sampai di Bali, kepala dan hatiku sudah sangat bersemangat melompat – lompat dipenuhi berbagai rencana untuk…. JADI ORANG BALI!

Bulan demi bulan berjalan cepat. Tiba – tiba sudah enam bulan aku tinggal di Bali, dan.. belum punya seorang pun teman orang Bali! Waah! Gimana ini?! Benar – benar di luar dugaan, berteman benar – benar dengan orang Bali ternyata tidak semudah dalam bayangan.

Tidak tahu karena perbedaan kebudayaan, atau gaya pekerjaan baru yang membatasi pertemuanku dengan orang, sudah hampir setengah tahun berjalan, dan NOL BESAR jumlah teman orang Bali yang aku miliki.

Supplier atau klien usaha yang adalah orang Bali biasanya hanya datang dan ngobrol untuk urusan bisnis. Beberapa kali sempat melihat orang sedang latihan memainkan gamelan di banjar. Dengan bersemangat tentu saja aku datangi banjar itu, tapi tampaknya kegiatan itu cukup tertutup untuk warga asli banjar itu saja. Tidak berapa lama, kami mendapat kesempatan untuk mengadakan pameran di luar negeri, eeh, ketemu dengan orang Bali! Kita sempat pergi bersama beberapa kali, tapi sesampainya di Bali, ajakan untuk bertemu lagi mendapat respon yang kurang bersambut. Ya sudah, akhirnya go with the flow saja berteman dengan supplier atau klien yang lagi – lagi orang Jawa. Atau berusaha seramah mungkin dengan siapa saja yang ditemui. Siapa tahu dia mau jadi temanku!

Sambil mencari teman orang Bali, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengenal berbagai macam kebudayaan yang tumpah ruah di pulau tenar ini. Pemerintah Bali mengadakan Pekan Kesenian Bali setiap tahun. Dibuka dengan parade yang digelar di jalan utama di tengah kota, festival kebudayaan ini berlangsung berminggu – minggu, diramaikan dengan pentas dari berbagai macam daerah dari dalam maupun luar negeri. Ini dia event yang tidak bisa dilewatkan untuk kutonton! Berbagai macam budaya yang ingin aku kenal, semua ada di sini! Cukup di satu event, di satu tempat, tinggal lihat jadwal, pentas yang mana yang ingin ditonton. Gratis! Akhirnya, dengan semangat pendatang yang gila kebudayaan dan seni aku meniatkan diri untuk nonton “partisipasi oleh Indian Cultural Centre”. Di jadwal yang tertera di website resmi pemerintah Bali itu tidak disebutkan pentas seperti apa yang akan ditampilkan oleh Indian Cultural Centre ini. Nyanyiankah? Drama? Tapi yang jelas, asumsiku kuat mengatakan: TARIAN!

Ok. Jadi, langkah pertama, cari di manakah pusat pertunjukkan Pekan Kesenian Bali ini: Art Centre, Denpasar.

Ok. Di manakah Art Centre, Denpasar itu? Jalan Nusa Indah.

Ok. Di manakah Jalan Nusa Indah itu? … … …

Ok, google map di hp android ini benar – benar tidak pernah bisa dipercaya. Deteksi GPS untuk posisiku jelas tidak akurat. Ya sudah, aku perhatikan peta jalannya saja kalau begitu. Setelah mencoba mengira – ngira jalan yang harus dilewati dari kantor menuju ke Art Centre, dan berhenti di tepian jalan beberapa kali sambil kembali membuka google map, akhirnya aku melihat lapangan luas tempat ada sekelompok remaja sedang berlatih marching band. Aha! Mungkin ini tempatnya. Aku menepikan mobil dan bertanya pada tukang parkir di pintu masuk.

“Mas, mas, ini Art Centre bukan ya?” (Biasanya laki – laki di Bali dipanggil “Bli”. Tapi aku belum terbiasa, jadi merasa agak canggung memanggil orang yang belum dikenal dengan “Bli”.)

“Oh iya mbak. Mbak parkir di sini aja, nanti ada shuttle yang bolak – balik ke Art Centre. Soalnya di sana tidak bisa parkir.”

Aku terdiam untuk beberapa detik, menatap wajah mas parkir tadi lekat – lekat, mencari tanda – tanda ketidakjujuran. Pikiranku langsung melayang kembali ke Jawa, di mana banyak “tukang parkir” memanfaatkan event – event seperti ini untuk meraup keuntungan lebih. Tapi aku tidak mendapati tanda – tanda seperti itu di wajah tukang parkir ini. Terlebih, pengalamanku selama di Bali menunjukkan kalau orang Bali itu rata – rata lumayan jujur. Di sini, aku masih sering mendapati tukang parkir yang selalu memberikan tiket parkir, dan bukannya mengantongi uang parkir untuk diri sendiri. Jadi, akhirnya aku membelokkan mobilku ke lapangan itu dan parkir. Dan, pas sekali, pas aku masuk, pas bus shuttle-nya juga datang. Jadi, segera setelah aku memarkirkan mobil, aku naik ke dalam bus.

Bus shuttle-nya ukuran mini jadi bukan bus besar, dan masih lumayan kosong waktu aku naik. Hanya ada beberapa ibu – ibu dan anaknya di barisan depan. Aku duduk di barisan agak belakang. Tidak sampai semenit kemudian, beberapa orang masuk, diikuti serombongan anak SMP. Bus itu langsung penuh.

Salah seorang anak SMP itu tidak kebagian tempat duduk, yang tersisa hanya di sebelahku. Jadi aku menawarkan tempat duduk, “Mau duduk?”

Anak itu kurus, rambutnya diberi entah minyak atau gel, yang jelas terlihat basah, dan disisir lurus ke belakang. Berkacamata tebal. Untung bentuk kacamatanya oval. Kalau tidak, ia akan seperti memakai – apa yang orang bilang – pantat botol. “Ngga, ngga.”

Ya sudah, aku cuek saja.

Aku kurang merasa nyaman sebetulnya, karena aku cewek satu –satunya. Rombongan anak SMP itu semua cowok, Bali. Dan aku Cina. Yap! Tidak perlu waktu yang lama, sebelum mereka mulai bercanda, “Wah,Komang malu! Tanya dong darimana dia. Dari Jepang, Korea, apa Cina!” Mereka terus bercanda sambil diselingi bahasa Bali. Memang kalau aku putih dan sipit, ngga bisa ya aku jadi orang Indonesia? Tidak nyaman sih dibegitukan, tapi dalam 25 tahun hidupku, kata – kata seperti itu bukan yang pertama kalinya. Lagian, mereka hanya anak SMP. Kata – kata mereka jujur, dan menjadi cermin bahwa di kehidupan mereka sehari – hari, tidak banyak bergaul dengan orang Cina. Atau sebaliknya. Jadi, orang Cina “langka” dan tidak biasa buat mereka.

Akhirnya salah seorang teman Komang berdiri. Ia memberikan tempat duduknya ke Komang, dan duduk di sebelahku. Aku memberikan sisi tempat duduk di sebelah jendela, sementara aku memilih untuk tetap di bagian gang. Aku tidak mau terpojok di sudut, jaga – jaga saja.

Sepanjang perjalanan mereka terus bercanda. Kadang aku ikut tersenyum. Mereka sangat akrab. Jarang sekali kita bisa berteman seakrab itu dengan jumlah sebanyak itu sekaligus di saat kita sudah dewasa. Hidup memberi kita kemewahan untuk membangun persahabatan saat kita kanak – kanak.

Mereka bercanda, kadang ditimpali dengan penumpang lain atau supir, aku tersenyum.

Macet di Jalan Hayam Wuruk membuat perjalanan ke Art Centre terhambat. Tapi 10 menit kemudian kami sudah tiba di lokasi. Aku segera turun dengan semangat! Aku sudah janjian dengan seorang teman untuk bertemu langsung di ruang Ksirarnawa. Karena macet, aku jadi terlambat. Pertunjukkan sudah mulai. Jadi aku harus segera ke sana.

Suasana yang menyambut begitu aku keluar dari bus menyenangkan. Kerumunan orang yang ramai, tapi kita masih bisa berjalan dengan nyaman. Terang. Banyak penjaja makanan di kanan kiri. Bau kue pukis dan sate babi menguar. Oke, Ksirarnawa.. hum.. Ksirarnawa.. Tidak ada papan petunjuk arah satu pun. “Bagaimana aku bisa tahu ruang Ksirarnawa di sebelah mana?”

Dari belakang masih terdengar suara candaan anak – anak SMP tadi. Kian mendekat ke arahku. Ketika anak yang tadi duduk di sebelahku berjalan sejajar denganku, aku colek bahunya, “Tahu ruang Ksirarnawa ga?”

Tepat di detik aku mengakhiri pertanyaanku, mereka semua sudah merubung aku, “Di situ kak.”

“Lah ini Ksirarnawa.”

“Ke kiri situ trus naik.”

“Ayo kita antar”

“Mau ke mana tadi?”

“Kita antar aja lah”

Seketika itu juga senyumku mengembang. Sambutan mereka benar – benar di luar dugaan. Mereka semua sangat ramah, terbuka, dan sangat antusias untuk menolong.

Jadilah aku berasa seperti berjalan dengan gerombolan Detective Conan! Banyak dan ramai. Mereka mengantarku ke tempat yang mereka tunjuk sebagai Ksirarnawa. Satu orang cewek Cina, dirubung dengan 7 orang anak SMP cowok yang ributnya bukan main. Sepanjang jalan mereka sibuk tanya namaku, memperkenalkan diri, tanya siapa temanku, dan lain – lain, dan lain – lain. Di sepanjang jalan, orang – orang memperhatikan kami. Tawaku beberapa kali lepas.

Tempat yang mereka tunjuk ternyata seperti teater terbuka yang luas. Sudah padat dengan penonton, sampai kami tidak bisa melihat apa pun yang dipertunjukkan di panggung. Jumlah penonton yang berkumpul di situ mungkin mencapai 2000 – 3000 orang.

Tempat itu ternyata bukan Ksirarnawa. Dan hape temanku tidak bisa dihubungi, seperti tidak ada sinyal atau mati. Jadi satu – satunya jalan untuk bertemu dengan temanku adalah menemukan Ksirarnawa dan mencarinya di sana.

Aku tidak enak menggangu acara anak – anak ini, jadi aku bilang tidak apa – apa kalau mereka mau jalan sendiri. Tapi seperti tidak mendengarkanku, mereka sudah sibuk sendiri berdiskusi di antara mereka. “Disuruh telepon coba.” “Ga bisa.” “Sms.” “Pending.” “Adhuh, gimana ini?” “Ke panitia aja, minta di-halo halo. Benny benny, dicari temannya yang dari Semarang.” “Eh itu ada polisi.” “Coba tanya.” “Iya tanya, tanya.” Ketika aku sedang sibuk meyakinkan mereka kalau aku tidak apa – apa ditinggal, mereka tiba – tiba sudah menghampiri polisi beramai – ramai dan tanya.

Pak polisi itu menunjukkan arah ruang Ksirarnawa dengan tidak bisa menutupi tawanya. Beramai – ramai ketujuh rombongan anak SMP itu mengucapkan terimakasih. Aku, yang berada agak di belakang mereka, mengamati dan lagi – lagi tergelak. Mereka sungguh polos. Salah seorang dari mereka, namanya Alit, berseru, “Kalau kita pergi bareng gini selalu ada kejadian seru ya!”

Ucapannya membawaku melayang ke masa beberapa tahun silam, saat aku masih kuliah dan belum mengenal kerasnya adu ego di dunia kerja. Ada seorang teman kos, yang kalau pergi bersama dia, kita selalu nyasar! Entah kenapa. Kita selalu salah naik angkot. Akibatnya, kita sering harus banyak berganti angkot, atau jalan jauh mencari angkot yang benar. Tapi kita tidak peduli dan malah tertawa senang. Kita pernah sama – sama berkata, “Seru ya kalau pergi bareng, selalu nyasar!” Kemurnian hati seorang muda membuatnya mampu membentangkan tangan dan memeluk seluruh dunia.

Yang lain lagi berceloteh pendek, “Aku orang Hindhu, jadi aku harus berbuat baik.” Ucapannya spontan, tanpa disadari pengucapnya sebenarnya mengandung niat yang jujur dan murni.

Akhirnya kita tiba di Ruangan Ksirarnawa itu. Ruangan itu ternyata berupa sebuah teater yang cukup luas, bisa menampung hingga 500-800 orang. Namun ruangan itu sudah penuh, sebagian orang bahkan berdiri di bagian belakang undakan kursi. Aku berjalan perlahan masuk sambil membungkukkan badan, berusaha meminimalisir gangguan visual terhadap para penonton yang aku lewati deretan tempat duduknya. Sepintas kupikir mereka akan meninggalkan aku setelah berhasil menemukan ruangan yang dimaksud. Jadi aku tidak berusaha mengajak mereka masuk. Aku tidak ingin menggangu acara jalan – jalan mereka.

Baru saja berpikir begitu, tiba terdengar bisikan keras di belakangku, “Gimana Kak, ketemu ngga temannya?” Kalimat tanya itu diucapkan oleh Yoga yang berjalan paling belakang, disebutkan berantai sampai ke paling depan.

Ya elaah! Ketika kutengok ternyata 7 anak itu ikutan berjalan menunduk dan mengekor di belakangku. Mereka berniat benar – benar memastikan aku bertemu dengan temanku.

Akhirnya aku melihat temanku di salah satu kursi di deretan paling ujung. Temanku sudah menyiapkan satu kursi di sebelahnya untukku. Tapi aku tidak ingin meninggalkan rombongan anak - anak berhati baik ini begitu saja. Sehingga akhirnya kami duduk bersama di lantai undakan tangga. Mereka menemaniku menonton acara tari India sampai selesai. Meskipun mereka tidak tertarik dengan acaranya. Mereka berusaha duduk tenang, yang tentunya usaha itu gagal tidak sampai semenit kemudian. Sepanjang acara mereka sibuk berceloteh, Alit menguap, Komang seluncuran di kursi yang sudah hilang dudukkannya, dan Eka benar – benar berusaha mengajariku bahasa Bali.

Dua jam kemudian acara selesai. Setelah memastikan aku bertemu temanku, dan mereka berkenalan dengannya, mereka pamit pulang. Dari tengah acara aku sudah merencanakan mau berfoto dengan mereka. Tapi karena sibuk bercanda dan ngobrol, malah akhirnya lupa. Dengan bertukar alamat email, kami berjanji akan pergi bersama lagi dalam waktu dekat.

Wahyu, Eka, Komang, Yoga, Wiratama, Made, dan Alit. Sekarang aku punya teman 7 orang Bali. Matur suksma!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun