Saudaraku, Muhammad Nuh, tolong klarifikasi berita ini …
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, siswi SMP di Depok yang menjadi korban pemerkosaan, SA (14 tahun) belum kembali bersekolah. Ia masih trauma terhadap perlakuan sekolahnya, SMP Yayasan Budi Utomo yang melakukan pengusiran terhadapnya beberapa waktu lalu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), M Nuh mengaku belum mengetahui secara detail mengenai kasus tersebut. Ia juga belum bertemu secara langsung dengan SA. Namun ia mengatakan, kemungkinan SA adalah siswi nakal dan hanya mengaku diperkosa.
"Akan tetapi dalam kondisi tertentu, bisa saja karena kenakalannya maka sekolah mengembalikannya ke orangtuanya. Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, ngakunya diperkosa," kata Mendikbud, M Nuh yang ditemui usai jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis (11/10).
Nuh menambahkan hal itu sulit untuk dibuktikan apakan benar SA merupakan korban pemerkosaan atau bukan. Akan tetapi kalau memang SA menjadi korban, maka harus dilindungi, traumatiknya juga harus dipulihkan.
"Kalau memang jadi korban, harus dilindungi, kasihan dia, sudah kena musibah sekolahnya juga tidak selesai," imbuhnya.
Jika benar itu kalimat anda, artinya wartawannya tidak salah kutip, saya akan berusaha untuk memaafkan anda, betapapun beratnya. Tapi sebelumnya, saudara Nuh, coba anda pikirkan beberapa hal berikut ini:
Yang pertama, saudara Nuh, tengoklah data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia:
Banyak sekali fakta membuktikan bahwa anak-anak sering menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2006 menyebutkan bahwa telah terjadi 99.377 kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah 19 tahun, 51.676 atau lebih dari 50 persennya dialami oleh anak berusia 9 tahun ke bawah.
Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM di Jakarta pernah mengeluarkan data yang menunjukkan bahwa dari bulan Juni 2000 hingga Juni 2005 telah terjadi 1200 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dari jumlah itu, 68 di antaranya dialami oleh anak laki-laki sementara sisanya oleh anak perempuan. Jadi, siapa bisa mengatakan bahwa anak laki-laki “aman” dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual? Meski secara presentase jumlah korban anak laki-laki relatif lebih kecil dibanding anak perempuan, namun kemungkinan itu tetap, dan selalu, terbuka.
Masih menurut data PKT RSCM, selama periode Januari hingga Mei 2008 terdapat 298 kasus kekerasan dan pelecehan yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Dari jumlah seluruh kasus tersebut, 15 di antaranya adalah kasus perkosaan pada perempuan dewasa, 75 kasus perkosaan terhadap anak perempuan, 42 kasus kekerasan seksual lain terhadap anak perempuan, 21 kasus kekerasan seksual yang mengenai anak laki-laki, 113 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 15 kasus penderaan terhadap anak, dan 15 kasus lain di luar kategori yang sudah disebutkan. Jika dihitung, maka rata-rata dalam sehari terdapat dua anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Penting untuk dicatat, saudaraku, bahwa kasus yang sedemikian banyaknya itu pun masih merupakan pucuk gunung es dari besaran masalah yang sesungguhnya. Kasus yang terungkap atau dilaporkan jauh lebih kecil dari pada insiden sesungguhnya. Alasan tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami anak biasanya karena takut anak mengalami trauma yang lebih besar lagi sementara orang tua dan keluarga tidak tahu bagaimana membantu anak keluar dari trauma tersebut. Persepsi keluarga bahwa ini adalah aib yang harus disembunyikan, serta ketakutan berurusan dengan pihak berwajib juga menghalangi penanganan memadai yang sesungguhnya sangat dibutuhkan korban.
Tidak berbuat apa-apa ketika mengetahui sebuah pelecehan atau kekerasan seksual terjadi adalah tindakah salah. Diam bisa diartikan sebagai tindakan persetujuan. Padahal, seperti dikatakan oleh seorang ahli, Stephen J. Sossetti, dampak pelecehan seksual pada anak adalah membunuh jiwa. Anak-anak berhak tumbuh dalam situasi yang aman dan sehat. Jika masyarakat—bukan hanya konselor dan terapis—peka terhadap gejala yang muncul dan merespon secara tepat dan cepat, tidak hanya pelecehan akan berhenti terhadap satu anak, tapi juga anak-anak lain akan terlindungi.
Fakta kedua mengenai perkosaan, saudaraku Nuh, adalah bahwa pelakunya adalah orang dekat yang dikenal baik oleh korban. Termasuk pacar. Data nasional memang tidak ditemukan (memangnya negara peduli?). Tetapi dua organisasi non-pemerintah yang bekerja menangani kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan angkanya lumayan menyentak:
- Cahaya Perempuan Women Crises Center, Bengkulu, menyebutkan sepanjang semester 2 tahun 2011 saja mereka telah menangani 56 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan rincian: Jika dilihat dari tabel di atas kasus kekerasan berbasis gender dan seksualitas yang paling banyak diterima yaitu kekerasan dalam pacaran 33,92 % (19 kasus) dari 56 kasus, kekerasan terhadap istri 32, 14% (18 kasus), kekerasan terhadap anak 10,71% (6 kasus), Perkosaan 8,92% (5 kasus), incest 7,14% (4 kasus), traffiking 3,57% (2 kasus), percobaan perkosaan 1,78% (1 kasus), dan pencabulan 1,78% (1 kasus).