Sebuah pekerjaan profesi tidak saja menuntut keahlian dan kecakapan tertentu tetapi juga adanya lembaga profesi yang menjadi rumah baginya. Sebagaimana dikemukakan oleh D. Westby Gibson yang salah satunya menyebutkan setiap pekerjaan profesi harus mempunyai organisasi profesi.
Organisasi profesi yang dalam hal ini rumah aspirasi guru adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Selain PGRI terdapat banyak lembaga profesi guru. Banyaknya organisasi profesi menjadi indikasi PGRI belum sepenuhnya mampu mengakomodir guru Indonesia.
Bukan rahasia umum dikotomi guru masih tetap mengemuka. Diskriminasi guru tidak saja bahaya laten tetapi sebuah stigma yang mesti diupayakan dibuang sejauh-jauhnya. Sesuai dengan frasa "persatuan" seyogianya guru disatupadukan tanpa diskriminasi dalam beberapa hal.
Profesi juga dilekatkan dengan profesionalitas. Parameter profesional bukan pada selembar sertifikat pendidik yang nonsubtansial. Tapi profesionalitas diejawantah dalam sikap ataupun integritas seorang guru sebagai laku budi substansial. Apakah semua guru sudah profesional?
Menjawab pertanyaan tersebut membutuhkan alat ukur jujur guru menilai diri sendiri. Pada aspek ini guru wawas diri. Menjadikan seluruh aktivitas pembelajaran dengan murid menjadi sarana umpan balik bagi peningkatan profesional.
Selain tersebut di atas, tak bisa dimungkiri banyak guru yang gaptek khususnya generasi X (berkelahiran 60 s.d 70-an) belum adaptif dengan perangkat teknologi khususnya perangkat pendukung pembelajaran. Alih-alih mampu mengemas pembelajaran berbasis kecerdasan artifisial (AI) beberapa guru Gen X tidak mampu mengoperasikan laptop atau PC. Alhasil proyektor atau laptop satuan pendidkan jadi nirfungsi.
Beberapa permasalahan tersebut sekelumit saja dari kompleksnya permasalahan Guru dan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Ditemukannya guru bergaji 150 ribu khususnya guru di sekolah swasta jadi pembenaran, betapa profesi guru belum sepenuhnya mengangkat muruah seorang guru.
Berbicara dari sudut pandang kompetensi, semisal saja kompetensi pedagogik kita ambil saja nilai Asesmen Kompetensi Guru (AKG) sebagai alat ukur. Maka akan didapatkan fakta mencengangkan. Banyak guru kompetensinya hanya pada level cukup. Sebagian kecil saja yang barangkali bisa mencapai level mahir atau ahli.
Terkait dengan masih rendahnya penghargaan terhadap guru Indonesia dapat dilihat dari banyak guru dipolisikan karena mendisiplinkan murid. Fenomena beberapa tahun terakhir ini membuat muruah guru tidak saja jadi pertaruhan, tapi masa depan pendidikan Indonesia berpotensi jadi bom waktu yang sewaktu-waktu yang akan menghancurkan semua anak bangsa.