Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola

Transformasi Sepak Bola Indonesia

4 Juli 2023   10:28 Diperbarui: 4 Juli 2023   10:36 493 0
Indonesia kembali menjadi sorotan publik sepakbola dunia. Beberapa pekan lalu sepakbola Indonesia mendatangkan juara Piala Dunia 2022, Argentina sekaligus melakukan sparing partner bertajuk FIFA Matcday.  Terkini Indonesia resmi ditunjuk  FIFA sebagai tuan rumah Piala Dunia U-17 yang akan berlangsung pada bulan November-Desember Mendatang.

Penunjukan tersebut menjadi pelipur lara publik sepakbola Indonesia setelah sebelumnya gagal menjadi tuan rumah Piala  U-20. Kepercayaan dari badan tertinggi sepakbola dunia ini juga jadi momentum tepat melakukan transformasi sepakbola nasional.

Berbicara transformasi  sepakbola nasional ada baiknya menelaah transformasi sepakbola dunia guna mengambil pelajaran. Secara garis besar sepakbola bertransformasi sebanyak empat kali.  Dua periode disebut sebagai periode klasik. Satu periode disebut periode pertengahan. Sedangkan satu periode disebut periode post modern.  Beberapa periode ini dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut :

Pertama  tahun 255-206 SM (Sebelum Masehi) sekitar abad ke-2 hingga ke-3. Sepakbola dimainkan di China untuk melatih kebugaran para tentara. (Sepakbola,2019;Ina Hasanah) dimuat media kompas (19/03/21)

Kedua sepakbola juga dimainkan di Yunani pada tahun 800 SM. Dalam buku The World's Game: A History Of Soccer karya Bill Muray,

Ketiga Sepak Bola periode pertengahan (Sepak Bola Modern) dimulai pada tahun 1863 sekaligus terbentuknya asosiasi sepak bola Inggris (FA) pada tahun sama.  Sepak Bola yang cenderung brutal diubah dengan peraturan main. Membuat pertandingan antar klub, menjadi cikal bakal lahirnya piala FA. Bergulir pada November 1871 hingga Maret 1872(Goal.com). Fakta tersebut menegasi Piala FA sebagai kompetisi Sepak Bola tertua di dunia.

Keempat sepakbola Post Modern ditandai dengan dimulainya European Cup atau dikenal UEFA Champions League atau Liga Champions pada musim 1955-1956.  Pada periode keempat sepak bola sudah menjelma menjadi industri.

Dari empat transformasi di atas, Indonesia diharap bisa responsif melakukan transformasi.  Mengingat sepakbola post modern wataknya tak lagi ajek, sepakbola nasional sebisa mungkin melakukan transformasi secara holistik mulai dari hulu hingga ke hilir. Menurut penulis beberapa langkah yang mesti dilakukan mentransformasi sepakbola nasional antara lain :

Pertama, Ketua PSSI mesti orang visioner (langkah ini sedang on the track). Semua terobosan yang dilakukan Pak Eric Thohir sejak menjabat mesti diapresiasi setinggi-tingginya.

Terlepas dari itu sebisa mungkin ketua PSSI dari tingkat pusat sampai tingkat asosiasi kabupaten/kota non partisan. Tidak terafiliasi dengan parpol manapun. Serta tidak merangkap jabatan. Sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi yang melarang rangkap jabatan.

Perlunya sosok ketua yang independen agar sepakbola tidak dipolitisasi. Sebab bukan rahasia lagi, selama ini jabatan Ketua PSSI jadi batu loncatan elite menaikkan elektabilitas lagi. Pun kegaduhan mengenai polemik penggunaan Jakarta Internasional Stadium (JIS) sebagai venue Piala Dunia U-17 tidak terlepas sepakbola yang terpolitisasi.

Kedua, pembinaan suporter. Tragedi Kanjurahan tak boleh dilupakan sekaligus jadi pelajaran pembinaan suporter dengan pendekatan kekeluargaan. Memberdayakan dengan peningkatan literasi sepakbola perihal hak dan kewajiban suporter.

Ketiga, meningkatkan literasi sepakbola pelatih dan wasit. Berbicara literasi sepakbola berarti pelatih dan wasit dituntut penuh berkompeten dalam urusan sepakbola baik teknis maupun non teknis. Fakta menyebutkan banyak wasit liga Indonesia tidak berkompeten (penelitian Football Institute, dimuat kompas). Dari 160 wasit hanya 18 wasit yang memenuhi kualifikasi (bolasport.com).

Kaitannya dengan pelatih, seorang pelatih mesti bisa meracik strategi bukan saja di atas kertas tapi dalam tataran praksis. Seorang Roberto Mancini sebelum dinyatakan lulus sebagai pelatih, ia harus membuat makalah terkait strategi dan uraian implementasinya di lapangan.

Keempat, adaptabel, artinya keberanian untuk menyesuaikan diri serta keberanian keluar dari pakem. Merujuk pada Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia) Bab 2 yang disusun pada pengurusan periode 2016-2020 lalu bahwa karakteristik sepakbola Indonesia adalah kolektivitas tim  dan menerapkan reactive play.

Contoh beberapa negara raksasa sepakbola dunia yang adaptif dan keluar dari pakem seperti Brasil (tak lagi identik dengan khas samba), Inggris (tak lagi mengandalkan kick n rush dengan bola-bola panjang), terbukti Inggris mampu menaklukkan Jerman dua gol tanpa balas pada Piala Eropa tahun lalu. Keberhasilan Italia menjuarai Piala Eropa  juga tidak terlepas dari keberanian mereka bermain meninggalkan ciri khasnya.

Justru yang tak adaptif sepertu Spanyol dengan tika-takanya sering melempem menghadapi tim bergaya defensif.  Begitu pula dengan Belanda, sepak bola ala Total Footballnya Rinus Michel dan Johan Cryuf, belum mampu mengantarkannya jadi Juara Dunia.

Sedangkan yang terkahir, sepakbola nasional meski melakukan alih teknologi/skill dengan negara-negara raksasa sepakbola. (Langkah kelima sedang berjalan dan diupayakan terutama kaitannya dengan teknologi VAR).

Keberhasilan transformasi sepakbola nasional nanti sangat tergantung dengan komitmen bersama para stakeholder menjalankannya. Seturut dengan status tuan rumah, timnas Garuda U-17 diharap mampu bertransformasi sehingga minimal Indonesia menjadi semifinalis. Allahu'alam.

Lombok Tengah, 040723
Dari Pencinta Sepakbola

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun