Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Orang-orang Dalam

30 Juni 2023   13:44 Diperbarui: 30 Juni 2023   13:45 130 0
Ulinuha telaten melayani pembeli. Musim liburan begini, pengunjung warung bakso tempatnya bekerja relatif ramai. Berbekal ijazah SMA tak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pelayan warung bakso. Kerap kali ia mencoba melamar pekerjaan. Apesnya, tak ada satupun yang menerimanya walau sekadar panggilan wawancara.

Sampai tiba beberapa bulan lalu, saat Ulinuha sedang bersiul-siul di kamar mandi, ia dikagetkan pintu kamar mandi digedor ibunya. Setengah berteriak ibunya mengingatkan ada temannya menunggu di beranda rumah.

Selepas mandi Ulinuha terlihat semringah begitu tahu, Yanto, teman sekelasnya waktu SMA mampir ke rumahnya.

"Wah mimpi apa aku semalam, Yan. Aku nggak nyangka kamu ke rumah."

"Iyalah, Ulin, terakhir ketemu sekitar lima bulan lalu, ketika kau tak sengaja mampir di warung bakso tempatku kerja."

Awal pertemuannya dengan Yanto, ketika Ulinuha mencari tempat makan siang meski waktu sebenarnya beranjak sore. Ia memilih warung bakso pojok seberang jalan untuk sekadar mengganjal perutnya. Pagi hingga jelang sore ia keliling ke berbagai tempat membuat perutnya keroncongan.

Tanpa dinyana yang mengantarkan bakso pesanannya, Yanto --teman sekelasnya dulu. Dari pertemuan ini pula Ulinuha menceritakan perihal dirinya yang luntang lantung mencari pekerjaan.  Pandemi Covid-19 tiga tahun lalu membuat banyak usaha semaput, termasuk homestay tempatnya bekerja.

Sejak saat itu Ulinuha memilih pulang kampung karena homestay sudah seperti rumah hantu, tak berpenghuni. Sepi tamu. Setelah berhenti kerja di sana, ia bekerja serabutan. Apapun yang mendatangkan uang ia kerjakan. Mulai dari kuli panggul musiman di ruko penjual sembako atau jadi cleaning service dadakan pernah ia jalani.

"Kau kuajak kerja di tempatku, Ulin,"Yanto mengutarakan kunjungannya. Sambil mengunyah penganan ringan yang disuguhi  ibu Ulinuha yang kebetulan baru pulang dari rumah sebelah. Ibu Ulinuha bekerja sebagai ART paruh waktu.

Yanto menunggu respons kawannya. "Oke, Yan, tapi ..." Bicaranya menggantung. "Maksudku sudah kau beritahu Bos kau itu,Yan?"Ulin terlihat ragu. Apalagi ia tak memiliki uang cukup untuk membelikan sebungkus Marlboro -- kebiasaan Yanto yang ia artikan sebagai balas jasa.

"Kalau itu sih soal gampang, Ulin," meyakinkan ajakan temannya. "Kau kan tahu, bagaimana aku punya bakat mempengaruhi orang lewat sebuah obrolan,"Yanto tertawa, memperlihatkan gigi gingsulnya. "Kita impas jadinya,Ulin."

Ulin tertawa mengingat kenangan lima tahun lalu ketika nekat mengajak Yanto bekerja di homestay. Yanto yang beberapa bulan nekat menikah walau tak punya pekerjaan tetap, selalu disindir mertuanya gara-gara tak bekerja. Karena kasihan, Ulinuha akhirnya mengajak temannya jadi pelayan homestay. Padahal homestay saat itu tidak membutuhkan tenaga baru. Ia mengimingi Yanto bekerja jika temannya bantu bayar tagihan listrik sebesar 400 ribu.

Konyolnya belum segenap setahun bekerja sebagai pelayan di homestay, Yanto diberhentikan. Pemiliknya tak menyukai cara kerja Yanto. "Kau tak lulus training, terlalu banyak cakap, empat bulan kuperhatikan kinerja kau, tak ada perkembangan, maka kau dianggap mengundurkan diri,"panjang lebar pemilik homestay menjelaskan.

Tak berapa lama kemudian Yanto bekerja sebagai pelayan warung bakso. Konon ia bisa kerja di sana karena dimasukin tantenya yang juga jadi juru dapur warung bakso tersebut.

***

Ulin ditemani Yanto segera membereskan sisa-sisa mangkok di meja yang telah kosong. Dari empat meja panjang berbentuk persegi, tersisa satu meja masih ditempati lima orang yang tengah asyik mengobrol.

Dua orang berambut sedikit plontos, dua orang lainnya berambut sebahu, sisanya berambut klimis dan rapi.  Menilik dari pembicaraan, mereka sedang kopdar  kecil-kecilan mengenang masa SMA setelah sekian tahun terpisah oleh jarak dan waktu.

Sembari menunggu pengunjung tersebut menghabiskan jamuan, Ulin menggambil remote control TV. Mencari berita terkini. Salah satu stasiun tv swasta menayangkan Breaking News salah seorang pegawai sebuah instansi pemerintah kena ott KPK kasus gratifikasi.

"Inilah Indonesia, Ulin, nyaris dalam satu tahun ada saja kasus ott,"Yanto mengambil tempat duduk bersisian. Membelakangi lima orang pengunjung yang masih asyik masyuk mengobrol.

Ulin tak menanggapi perkataan Yanto matanya awas menatap tv yang nangkring pada dinding. Posisinya persis di tengah ruangan. "Sepertinya aku pernah lihat Bapak ini,Yan,"tanpa menatap koleganya yang juga sedang menyeksamai berita. "Nah benar, Yan, sekarang kuingat, Bapak itu dulu pernah nginap di homestay,  Bapak itu pernah cerita tanpa kuminta, katanya ia kerja di kantor tempat bikin ktp. Bahkan ia bilang kalau mau ngurus perubahan kartu keluarga, akta lahir, atau pembuatan e-KTP lewat beliau saja, dijamin langsung jadi tanpa ngantri asal diberi uang rokok."

"Hah, kebetulan sekali kartu keluarga di rumah mau diperbaiki, anakku yang nomor dua belum dimasukkan, tapi sayangnya Bapak itu kena tangkap,"Yanto berseru kecewa.

Sementara di belakang mereka, pengunjung  masih ngobrol sambil ikut menonton berita. Salah satu di antaranya berkata, "kacau balau negeriku."  Lainnya tertawa-tawa menunjuk temannya yang terlihat paling klimis.

Secara tak langsung Ulin dan Yanto mencuri dengan obrolan renyah mereka. Sekali waktu memencet tombol remote.

"Kami berdua memang sedang menunggu pengumuman Pantukhir (penilaian panitia penentuan akhir) seleksi masuk Bintara Polisi,"terang dua orang berambut sedikit plontos kepada temanya.

"Kapan pengumumanya?"selidik pemuda berpenampilan klimis.

"Katanya akhir pekan ini, informasi dari kenalan Bapak, diupayakan kami akan diluluskan, katanya Bapak, kenalan beliau ini orang penting di panitia penerimaan, sudah sering kali beliau itu ke rumah kami."

"Profesi apapun jika kita bisa masuk di dalamnya karena faktor kedekatan, secara tak langsung kita merampas hak orang lain,"pemuda klimis ini mengingatkan.

"Haha,,, kau jangan munafik lah,"salah seorang berambut gondrong menimpali, sambil tertawa. "Kau dulu kan juga anak pindahan, kau bisa masuk SMA karena Ommu ngajar di sana."

"Sulit memang, kita mau profesi apapun jika nggak punya skill, kita bakalan nggak diterima,"pemuda berambut gondrong menambahkan.

"Nggak menjamin juga meski punya skill. Mau sekolah, kuliah, kerja atau apak kek, kadang kita diputer-puter dulu untuk celah ngepalakin kita, pengalaman aku pas masuk kuliah,"panjang lebar rekan sebelahnya yang juga berambut gondrong dengan misai tipis.
"Makanya aku terpaksa banting setir pilih kampus swasta di pinggiran kota, ngambil jurusan hukum."

"Harus diakui di tempat kita, KKN sudah jadi budaya, satu mati tumbuh seribu, subur lagi,"pemuda klimis menimpali. "Yuks, cabut, bakso dan minuman kita sudah tandas dari tadi,biar aku yang bayar,"mengeluarkan dua lembar warna merah dari dalam dompetnya sambil nyengir.

"Tapi apa kita membiarkan perkara begini terus menerus tanpa upaya memutus mata rantainya?"Sergah pemuda gondrong bermisai tipis, berdiri menyelempangkan tas  ranselnya.

"Kitalah yang memutus mata rantainya mulai dari hal-hal kecil dulu,"pemuda klimis menepuk pundak temannya. Lantas keluar warung bakso beriringan.


***

Ulin dan Yanto termangu usai mendengar obrolan pemuda yang beberapa menit lalu meninggalkan warung. Mereka berdua terasa mendapat pencerahan.

Kedua sahabat tersebut saling diam. Tanpa kata-kata  membereskan sisa makanan dan minuman yang berserakan di meja.

"Saatnya kita berubah, apa kata pemuda-pemuda tadi patut kita jalankan,"ucap Yanto tanpa menatap Ulinuha yang sedang mengelap mangkok dan gelas.

Ulinuha mendekati Yanto. "Yan, aku sepakat  juga dengan mereka, mengubah sesuatu yang sulit itu dimulai dari kita sendiri. Makanya mulai setahun lalu saya sudah menabung sedikit-dikit, rencana mau buat usaha sendiri. Kebetulan besok pagi kita libur, mau ikutan ke bank mau nabung, sekalian aku traktir makan,Yan,"

"Ahhaa, siap,Bosku,"Yanto menjawab sambil hormat dan nyengir.

Di sebuah Bank milik pemerintah tampak para nasabah bejubel. Sepertinya Ulin rada terlambat datang, nomor antre satu digit nggak bisa ia dapatkan.

"Coba tu liat, tertib ngantre saja di tempat kita kagak bisa, kapan bisa maju negeriku,"Yanto ngomel sendiri.

Yanto tersenyum  begitu melihat security Bank keluar. Tiba-tiba menghampiri sang security yang kemungkinan besar mereka berkarib. Ia membisiki sesuatu sambil senyum-senyum. Lantas kembali menemui Ulinuha.

"Beres udah, Lin, nih kau dapat nomor antre 8, informasi dari kawan aku teller sedang layani nasabah nomor antre 5, nggak lama kau nunggu. Securitynya teman SMPku dulu."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun