Banyak orang yang salah mengerti atau pura-pura tidak mengerti fungsi dan peran pemerintah. Secara umum secara simplikasi saja pemerintah dalam terminologi kapitalis dianggap sebagai regulator, sementara di negara-negara totaliter negara melakukan peran sebagai regulator dan operator. Di negara-negara kapitalis peran operator pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat melalui berbagai jenis usaha dan penyediaan jasa.
Di Indonesia saya pikir dua-duanya dilaksanakan, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. Ada beberapa sektor yang hanya diatur regulasinya saja oleh pemerintah, ada juga yang pemerintah juga ikut menjadi operator melalui badan-badan usaha yang dimilikinya, bahkan ada sektor yang dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah.
Yang masih dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah misalnya, Listrik dan Minyak Bumi. Sementara contoh sektor yang telah dibuka bagi swasta sangat banyak, seperti garmen, berbagai jenis makanan dan telekomunikasi.
Perkembangan telekomunikasi saat ini terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat. Hadirnya berbagai operator menawarkan berbagai paket komunikasi baik suara maupun data yang bersaing.
Sayangnya persaingan ini hanya berlaku di kota besar. Hal ini wajar sebab sebagai entitas bisnis operator membutuhkan pelanggan yang cukup dengan infrastruktur teknologi informasi yang cukup agar bisa meraih untung. Tentu saja operator ragu atau enggan masuk ke daerah-daerah terpencil yang secara kalkulasi susah raih untung jika masuk membangun jaringan TI disitu.
Karena kota besar menjadi fokus bagi operator untung kembangkan usaha komunikasinya sementara mereka enggan masuk ke daerah terpencil akibat ketiadaan potensi profit, maka terjadilah kesenjangan atau gap informasi.
Gap informasi ini tampak nyata. Jika di kota-kota besar bisa jadi overload informasi maka di kawasan lain di tanah air terjadi underload. Tentu saja kesenjangan berpotensi akibatkan kesenjangan di sektor lain akibat dari kesenjangan pengetahuan.
Pada hakikatnya, pelaksanaan pembangunan harus menganut asas adil dan merata. Kesenjangan informasi yang diakibatkan oleh tidak tumbuhnya usaha telekomunikasi dibdaerah terpencil harus menjadi fokus masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Dalam hal ini tentu saja peran pemerintah lah yang bisa lakukan hal tersebut dengan melakukan berbagai terobosan dan inisiatif agar kesenjangan informasi ini bisa dikuangi.
Tentu saja pengembangan TI di perkotaan yang lumayan stabil dengan hadirnya berbagai operator tidak boleh juga ditinggalkan tetap harus diawasi dan dikontrol. Cuma memang fokusnya tinggal pada aspek pengendalian saja. Sementara fokus yang lebih besar adalah membangun berbagai infrastruktur TI di berbagai daerah sehingga bisa menguangi gap informasi tadi.
Di kota-kota besar koneksi hampir sudah sepenuhnya diselenggarakan oleh operator baik swasta maupun BUMN, sementara sebaiknya pemerintah fokus membangun jaringan di daerah untuk mengejar pengurangan gap informasi dengan menginisiasi berbagai program sambungan komunikasi yang tepat guna. Untuk di perkotaan tinggal dikontrol dan diawasi saja para operator yang berikan layanan kepada masyarakat.
Catatan kecil ini saya tulis berdasarkan pengalaman mendengarkan paparan menteri kominfo beberapa saat lalu dan juga melalui timelinenya di twitter. Jika kita pahami kondisinya seperti ini, maka jika koneksi jaringan kita lemot maka yang menjadi kambing hitamnya adalah pemerintah dalam hal ini kominfo? Jika kita jeli mengamati apalagi jika kita sedikit paham tata kelola pemerintahan dan hubungannya dengan dunia usaha maka tidak relevan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Adalah benar bahwa ada beberapa pada beberapa bagian kita mungkin eneg dengan berbagai kebijakan yang diambil pemeringah, namun kita juga harus mampu mengukur arah dan proporsi kritik yang tepat pihak mana yang menjadi muara kita menyampaikan kritik.
Pembangunan jaringan telekomunikasi saat ini di kota besar umunya dilakukan oleh dunia usaha baik swasta. Beberapa operator sudah diberikan izin selenggarakan layanan 3,5G HSDPA misalnya tetapi apakah dengan izin itu kemudian operator tersebut membangun kekuatan jaringan HSDPA di semua BTSnya? Kan belum tentu juga tergantung potensi banyaknya pengguna dan pertimbanban ekonomi yang lain. Intinya adalah jelas jika kita alami koneksi lemot berarti masalahnya hanya ada dua, kita ambil paket yang murah sehingga bandwidthnya dan quota dikasih sedikit atau jangkauan operator yang masih kurang baik.
Mudah-mudah kita tidak ikut latah dengan gampang alamatkan segala kelemotan koneksi ini kepada pemerintah semata. Tetapi bukan pula ini artinya kita menjadi tidak kritis terhadap pemerintah, yang diperlukan adalah kicau kritis yang logis, empiris dan bertanggung jawab bukan yang asbun.