Ternyata sangat sulit bagi saya untuk memahami hal ini, karena sepertinya segala sesuatu tidak ada yang gratis. Namun yang terpenting bagi kehidupan saya, dan yang saya sering tidak sadari ternyata pun adalah sebuah anugrah, misalnya : udara yang saya hirup atau gaya gravitasi yang membuat saya tetap menjejak bumi dsb. Saya tidak perlu membayar untuk mengkonsumsinya, dan jika saya tidak mengkonsumsinya lagi, saya sudah tidak hidup lagi alias mati.
Kata tersebut memetakan sebuah relasi antara pihak yang memberi dan pihak yang diberi, dan lebih khusus lagi, sepertinya kata itu lebih sering digunakan di dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sangat jarang kata tersebut di dalam makna generiknya anugrah/kasih karunia dipakai di dalam hubungan antara manusia.
Kata itu mengandung sebuah makna bahwa tanpa "anugrah" maka kehidupan ini sebenarnya tidaklah benar-benar "hidup".
Ketika tidak memahami hal ini maka kehidupan ini sepertinya sebuah perjalanan memburu-buru berlelah untuk mencapai ini dan itu yang sangkanya akan memberikan makna bagi kehidupan kita, sebelum akhirnya kita tiba kepada kondisi bahwa segala sesuatu berlalunya buru-buru, kemudian tinggal lenyap.
Tanpa anugrah, kehidupan ini seperti semak bulus di padang belantara, yang gersang, bagaikan tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Kehidupan demikian seperti halnya menunda kekalahan untuk akhirnya bertelut di hadapan kematian.
Manusia merindu akan anugrah. Hal ini bagaikan tetesan embun yang memuaskan kedahagaan jiwa kita. Kita bukan hanya ingin mencercap tetesan itu, tetapi kita juga ingin meneguk dari sumbernya bahkan tenggelam di lautan anugrah itu.
Bagai rusa berteriak mencari sumber air sejuk, demikianlah jiwa kita merindu akan Dia yang penuh dengan anugrah dan kebenaran.
Hidup ini adalah anugrah.
Jikalau hidup ini adalah anugrah, maka perjalananan kehidupan ini adalah sebuah proses mengalami anugrah demi anugrah. Sebuah perjalanan menuju kedewasaan adalah sebuah kemampuan untuk memperbesar kapasitas untuk menikmati anugrah demi anugrah yang semakin besar.
Bagaimana saya memulai perjalanan ini?
Di dalam transendenitas Allah, bagaimana mungkin saya mengalami anugrah Nya, bukankah Dia yang Maha Suci sangatlah jauh dari diri saya yang penuh dengan noda dosa dan ketidakbenaran ini? Tetapi puji syukur kepada Allah bahwa di dalam Sang Kalam yang menjadi manusia, saya dimampukan untuk menjamah anugrah Nya, karena Dia yang "nunggil klawan manungso"/ Tuhan beserta kita/ Immanuel. Sehingga hal ini merupakan wujud yang sempurna dimana kebenaran Allah dan sekaligus anugrah Allah (melalui kehadiran dan karya Nya) dinyatakan kepada manusia.
Mengalami anugrah dari Allah, sejatinya adalah mengalami Yesus, Sang Kalam yang menjadi manusia. Sebab ada tertulis, "Sebab di dalam kepenuhan Nya kita menerima anugrah demi anugrah"
Jikalau kita tenggelam di dalam kepenuhan Nya maka bukankah benar janji Nya, yaitu "Aku datang supaya mereka memiliki hidup dan mempunyainya di dalam segala kelimpahan." Ya, kita diajak tenggelam di dalam lautan kelimpahan anugrah Nya.
Anugrah Nya sungguhlah indah, agung, dahsyat, ajaib, luar biasa, tiada duanya.
Salamm Taklim
Kang Samad