Meskipun bukan pakar, paling tidak pengalaman pernah bekerja sebagai IT Admin di Museum Batik Pekalongan (dulu bernama Museum Batik Indonesia di Kota Pekalongan) mengantarkan saya mendalami warisan budaya yang awalnya tidak saya pahami dengan baik tersebut.
Saat proses pengajuan batik sebagai nominasi warisan budaya tak benda ke UNESCO, saya turut berperan aktif dalam kegiatan itu bersama beberapa stake holder dan tokoh batik nasional.
Bahkan saat itu saya buatkan pemetaan digital, sebaran wilayah batik nusantara yang berkontribusi memberikan nilai sejarah perkembangan batik. hasil pemetaan itu, selanjutnya diserahkan pada perwakilan dari UNESCO yang bernama Mr. Gaura.
Melalui catatan yang semoga positif nan sederhana ini, saya ingin berbagi pengalaman dalam bentuk poin-point singkat, dengan harapan kecintaan kita pada Batik akan makin bertambah.
Mari simak.
Satu
Sebagian literasi mengatakan "BATIK" berasal dari kata "BAbar" dan "tiTIK", yang artinya membabar, menggoreskan, mempertemukan antar titik menggunakan malam (lilin batik) dan canthing sebagai alatnya.
Jadi secara sederhana, proses batik dapat diartikan sebagai aktifitas menggoreskan malam (lilin batik) dengan menggunakan canthing, baik canthing tulis ataupun cap pada kain.
Jadi, disebut batik jika dan hanya jika prosesnya menggunakan malam (lilin batik), jika prosesnya tidak menggunakan malam (lilin batik), jangan pernah menyebutnya batik, apalagi menyebutnya di depan pakar batik. Bisa kena omel.
Dua
Berdasar alat yang digunakan, batik dikelompokan menjadi tiga, batik tulis (menggunakan canthing tulis), batik cap (menggunakan canthing cap) dan batik kombinasi (paduan antara tulis dan cap).
Ketiga
Sejatinya, nilai batik cenderung mahal, karena proses pembuatannya yang cukup memakan waktu.
Namun dewasa ini, masyarakat dapat memperoleh "batik" dengan harga yang relatif murah. Namun penting saya sampaikan, kain yang kita duga "batik" dan sering kita kenakan itu sesungguhnya bukanlah batik!
Para tokoh batik menyebutnya "Kain Tekstil Bermotif Batik", meskipun para produsennya ngotot menyebut istilah buatannya itu sebagai batik juga yaitu "batik printing", namun tetap saja, itu bukanlah batik. Dan tidak pernah ada istilah "batik printing".
Ingat, disebut batik karena prosesnya menggunakan malam (lilin batik) yang bersifat alami, sedangkan kain tekstil bermotif batik yang sering kita kenakan itu, proses pembuatannya dengan cara disablon serta menggunakan bahan tekstil kimia yang berbahaya bagi lingkungan.
Empat
Sangat mudah membedakan pakaian kita batik atau bukan, lihatlah secara bolak balik. Jika memiliki sisi yang warnanya sama, sudah dipastikan itu adalah batik. Namun jika salah satu sisi kainnya memiliki warna yang berbeda dengan warna di sisi lainnya (salah satu sisinya berwarna keputihan pudar), dapat dipastikan bahwa itu adalah kain tekstil bermotif batik yang dibuat dengan proses sablon.
Cara lain, cium kainnya, tentunya anda dapat membedakan mana aroma lilin dan mana aroma tinta sablon kimia.
Lima
Kehadiran para pengusaha sablon kain tekstil bermotif batik ini, menjadi dilematis. Satu sisi mengangkat ekonomi masyarakat karena perputaran ekonomi yang cepat, namun sisi lainnya perlahan menggerus keberadaan pengrajin batik asli itu sendiri.
Saat pengrajin batik menyelesaikan selembar mori batik berhari-hari bahkan berbulan-bulan, para pengusaha sablon kain tekstil bermotif batik dapat lebih cepat menyelesaikan bergulung - gulung kain pesanannya dalam beberapa jam saja. Kemudian segera dipasarkan.
Selain itu, keberadaan kain tekstil bermotif batik, dapat mengurangi nilai luhur yang dikandung dalam batik itu sendiri, terutama kesakralan proses pembuatannya.
Batik asli penuh ritual dan filosofi dalam proses pembuatannya, sedangkan kain tekstil bermotif batik tinggal menggurat tinta kimia diatas screen sablon. Ironis.
Keenam
Anda membeli kain tekstil bermotif batik (batik palsu), bagi saya, anda turut membunuh para pengrajin batik.
Ketujuh
Anda membeli kain tekstil bermotif batik (batik palsu), bagi saya, anda turut mendukung pencemaran lingkungan.
Delapan
Mengapa batik dikatakan sebagai warisan budaya tak benda? Dan mengapa batik bernilai cukup mahal? Itu bukanlah karena kain batik nya itu sendiri. Melainkan karena hal-hal yang mengiringi proses pembuatannya serta kandungan filosofinya.
Jaman dahulu, para pembuat batik melakukan ritual tertentu dalam menyelesaikan satu helai mori untuk dibatik. Bahkan ada yang berpuasa selama menyelesaikannya.
Belum lagi kenyataan bahwa masing-masing motif batik memiliki arti tertentu, sehingga penggunaannya pun tidak sembarangan.
Motif yang dikenakan raja berbeda dengan yang dikenakan punggawa. Begitu juga perbedaan motif yang dikenakan saat acara kelahiran, pernikahan sakit dan kematian. Serta masih sangat banyak hal-hal diluar kebendaan yang menjadikan batik sebagai warisan yang agung, dan disebut warisan budaya tak benda.
Ingat, jaman dahulu batik dianggap teman kehidupan, yang selalu menyelimuti tubuh dari kelahiran hingga kematian.
Sembilan
Saat batik di elu-elukan hingga mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, pernahkah anda tau berapa upah nenek-nenek yang tekun membatik dengan canthingnya di rumah produksi para pengusaha batik?
Ah sudahlah,..
Saya katakan saja di bawah standar! sudah dibawah standar, masih disebut "buruh" batik pula. Kasihan.
Karya tangan nya dijual mahal, sedangkan pendapatannya? Paling banter kita hanya memberinya apresiasi dengan mengajak foto bersama saat mengunjungi mereka di pusat-pusat kampung batik.
Sepuluh
Anda tau berapa jumlah pengrajin canthing cap disalah satu kota penghasil batik saat ini? Ironis.
Saat terakhir kami mengadakan pelatihan pembuatan canthing cap sekitar tahun 2009 atau 2010, jumlahnya hanya ada tujuh pengrajin dengan usia senja. Berdoa saja, semoga ada peralihan keahlian dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya.
Meski pada kenyataannya saat itu regenerasi pembuatan canthing sangat kurang diperhatikan. Sehingga saya khawatir, jumlah pengrajinnya akan berkurang serta kemampuan membuat canting sebagai alat batik, ikut terkubur bersama jasad mereka.
Sebelas
Perkembangan teknologi dan kreatifitas melahirkan beberapa generasi muda pecinta batik untuk mengembangkan batik dengan sentuhan teknologi modern.
Ada yang menciptakan canthing elektrik, ada pula yang menciptakan motif batik fractal dengan mengacu pada rumus-rumus tertentu. Kita dapat dengan mudah mengetahui perkembangan nya, di mesin pencari.
Duabelas
Anda tau dimana Kota Batik?
Saya sendiri bingung, karena julukan nya pernah menjadi rebutan.
Sudahlah, batik milik kita bersama, jangan dipolitisir untuk urusan budaya.
Kalo menurut group Band Slank sih, "Kota Batik di Pekalongan, bukan Jogja juga bukan Solo".
Entah lagu itu berdasar literasi mendalam, atau karena salah satu personilnya ada ikatan batin dengan kota tersebut, kita tanya pada rumput yang bergoyang.
Tigabelas
Anda masih berpikir, dengan sudah diakui oleh UNESCO, lalu batik kita menjadi aman?
Mungkin anda belum pernah tau berapa banyak manusia kreatif yang ahli dalam membatik rela meninggalkan tanah negeri ini demi mendapat kesejahteraan dan kelayakan hidup.
Selain itu perlu saya sampaikan, bahwa pengakuan UNESCO itu hanya sebatas pada batik tulis saja. Tidak pada batik cap ataupun batik kombinasi. Bagaimana ancaman terhadap kedua batik terakhir, kita tunggu saja pena zaman akan menuliskan.
********
Saya bukan pecinta seni angka, namun jika point nya ada 13 itu hanya kebetulan yang perlu menjadi perhatian.
"Save Our Batik" jangan hanya digemborkan saat kita kebakaran jenggot karena warisan itu di klaim oleh negeri tetangga, koreksi diri dahulu seberapa kuat kita menjaganya.
Tetap hindari memposting dan membagikan konten negatif di media sosial.
Ya,..saya pria pecinta batik, dan saya bisa membatik!
Salam Konten POSITIF!
Kang Mas Radit
Link :
Saya & Proses Pengajuan Batik ke UNESCO :
https://radityariefananda.wordpress.com/2009/10/10/batik-batik-unesco-warisan-budaya-tak-benda-batik-indonesia/
Saya & Sekilas Komentar Batik :
https://radityariefananda.wordpress.com/2009/01/19/batik-pekalongan/
Saya & Konservasi Digital Koleksi Batik :
https://radityariefananda.wordpress.com/2009/06/03/mampir-ke-museum-batik-di-kota-pekalongan/