Perguruan tinggi adalah tolak ukur pendidikan kita. Dari sinilah, panji-panji pembela bangsa akan muncul. Jika kampus mati, maka tunggulah sang Izrail menjemput detik-detik kematian bangsa kita. Dan Indonesia pun akan terperosok ke kubangan yang mengerikan, sebuah ketertinggalan. Nah, dengan demikian, membincang masalah pendidikan, maka berarti tak pernah lepas dari perbincangan dunia kampus dan yang sejawatnya. Bagai jamur tertiban rintikan hujan, pertumbuhan jumlah perguruan tinggi tiap tahunnya terus meningkat. Di Indonesia, berdasarkan data yang diketahui penulis, lebih dari 2.000-an perguruan tinggi swasta dan ratusan perguruan tinggi negeri. Angka ini secara kuantitatif, jelas sangat menggembirakan. Karenanya, bisa jadi sebagai pertanda dan indikasi baik bahwa kualitas pendidikan di negeri ini makin melejit pesat. Bahkan, kampus-kampus terdepan di Indonesia, telah tercatat dan bertengger di jajaran kampus ternama di dunia, meskipun masih berada di urutan ratusan.
Setidaknya, perangai baik itu bisa memacu dan memicu pergerakan di tiap kampus secara opensif-massal untuk go international. Meski sebagai anak bangsa, saya sadar betul, untuk menuju ke arah itu, harus bertarung dengan ide dan peras keringat. Itu bukan hal yang mudah, meski jalan 'menganga' lebar!
Semangat itulah yang harus tetap terjaga. Sayang, rupanya gairah itu tidak dimiliki sebagian besar kampus di Indonesia. Dan satu hal yang memprihatinkan, ada semacam lelucon manis, bahwa perguruan tinggi di Indonesia seperti telah berubah wajah menjadi korporasi, layaknya perusahaan bisnis. Yang penting ada mahasiswa, keuangan kampus tercukupi, selesailah perkara. Padahal, pendidikan tidak sesimpel itu, ia adalah proses berkelanjutan yang tidak akan pernah berakhir. Bahkan, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mencatat, sepanjang peradaban anak manusia, pendidikan adalah komponen kehidupan yang paling urgen. Demikian pula Plato dalam Republica-nya, hingga menjadikan falsafah idealism dalam pendidikan.
Sejatinya, perguruan tinggi adalah pencetak generasi bangsa yang handal. Perguruan tinggi secara tidak langsung bertanggungjawab pada kontinuitas dan survivalitas bangsa dari jeratan bangsa lain. Seharusnya, cita-cita luhur itu tetap terpatri erat di dinding-dinding setiap kampus. Banyaknya angka sarjana pengangguran, mahasiswa anarkis, jelas mengisyaratkan kualitas pendidikan pada bangsa ini masih harus dipertanyakan. Masih segar dalam ingatan saya, Menteri Pendidikan RI, Prof Dr Muh. Nuh pernah berkata, di Indonesia masih banyak para pendidik yang hanya bisa mendidik secara kasat mata. Seorang dosen datang ke kampus, memberikan kuliah, paham atau tidak urusan mahasiswa yang penting mata kuliah terkejar. Dan, selesailah tugas seorang dosen. Padahal, masih menurut M. Nuh, keberhasilan seorang pendidik adalah manakala ia bisa menggunakan mata hatinya untuk mendidik. Karenanya, mendidik dengan mata hati jauh akan lebih berhasil daripada mendidik dengan mata telanjang.
Hal tersebut hampir senada dengan yang diungkapkan John Dewey, bahwa anak didik itu bukan hanya alat penerima ilmu tanpa melakukan gerak apapun. Justru sebaliknya, anak didik bisa proaktif. Karena disadari ataupun tidak, itulah fungsi pendidikan yang selalu bergerak maju (taqaddumiyah) sebagaimana diungkapkan Musthafa Abdus Sami' dalam Teknolojia at-Ta'lim.
Naquib al-Attas pernah mengatakan, setidaknya ada tujuh konsep dalam pendidikan. Pertama, konsep din (agama). Kedua, konsep insan (manusia). Ketiga, konsep ilmu dan makrifat. Keempat, konsep hikmah (kebijakan). Kelima, konsep keadilan. Keenam, konsep amal dan adab. Ketujuh, konsep kuliyyah jami'ah (perguruan tinggi). Pertanyaannya, sudahkah ketujuh konsep tersebut benar-benar diterapkan dalam dunia pendidikan kita? Pola yang salah akan mengakibatkan hasil yang salah. Tak aneh, jika mahasiswa saat ini menjadi brutal dan miskin moral. Jika sudah begitu, kampuslah yang ketiban sialnya. Kampus tercoreng moreng dengan laku 'lucah' para mahasiswanya. Dalam bait ini saya hanya ingin menegaskan, bahwa kampus pun berperan untuk mengontrol perilaku para mahasiswanya.
Minimnya pengawasan pihak kampus terhadap mahasiswanya, tak aneh jika sejarah mencatat, ada mahasiswa digrebek tengah mesum atau digeledah saat berminuman keras, narkoba dan lain sebagainya. Dan yang lebih memalukan, perilakunya itu sempat terekam media dan ‘mejeng’ di harian Lampu Merah, yang saat ini mengubah namanya menjadi Lampu Hijau. Dahsyat! Bahkan, budaya hanya mengejar titel dan kertas ijazah pun masih menjadi benalu kelas kakap di dunia pendidikan kita. Jika catatan harian perguruan tinggi kita sudah begitu, maka harapan menuju kebangkitan pendidikan adalah nonsense. Mustahil! Itulah secuplik 'kisah romantis' dunia pendidikan kita. Seakan paras manis itu telah berbalut perban 'hipokritas'.
Akselerasi Menuju Kebangkitan Pendidikan
Pada dasarnya, setiap lulusan SLTA/SMA/SMU/MA memang memburu sosok perguruan tinggi ternama. Sebagian mereka, swasta atau negeri menjadi tak terlalu penting. Dan yang menjadi bahan pertimbangan, hanya faktor biaya pendidikan. Mereka relatif akan lebih memilih kampus yang biayanya sedikit murah. Itu sebuah indikasi, bahwa kampus yang berbiaya murah akan lebih banyak diburu calon mahasiswa ketimbang kampus yang berbiaya selangit. Namun, yang harus diperhatikan pihak kampus, murah bukan berarti murahan. Kualitas harus tetap ditingkatkan sebaik mungkin.
Persoalannya sekarang adalah dan sekaligus menjadi momok terbesar di dunia pendidikan kita, kampus seolah telah berubah menjadi korporasi pencari untung dengan biaya melambung. Lalu, jika sudah demikian, bagaimana bisa mencetak generasi muda yang handal? Kita hanya akan dipaksa menganga dan terpasung dalam kemandegan. Generasi kita tidak bisa kuliah. Sampai SMA pun sudah beruntung. Lepas dari ukuran mampu atau tidak mampu dalam hal ukuran biaya, kita pun selanjutnya dihadapkan pada persoalan lainnya.
Yang menjadi faktor terbentuknya pendidikan berkualitas adalah kualitas tenaga pengajar yang ada di kampus. Jika kualitas pengajar atau dosennya sudah berkaliber nasional atau internasional, tentu bisa membetot akselerasi menuju kebangkitan pendidikan kita. Yang terpenting dan yang harus dilakukan adalah, bagaimana cara memikat agar generasi muda tertarik untuk kuliah. Ketertarikan calon mahasiswa bisa dipicu dari berbagai hal, misalnya saja dari segi fasilitas kampus, sarana dan prasarana yang memadai. Situasi dan lingkungan kampus yang nyaman pun, bisa jadi menjadi daya tarik para calon mahasiswa.
Selain itu, pelayanan yang baik terhadap mahasiswa dan tidak mempersulit akan menjadi penentu ketertarikan calon mahasiswa. Terapkanlah konsep bahwa kampus itu sebagai pelayan mahasiswa bukan sebaliknya, kampus yang harus dilayani. Di era digital dan teknologi, bahkan semuanya bisa diubah menjadi layanan online. Dan, dalam keadaan apapun, civitas akademika harus tetap perjuangkan agar perguruan tinggi itu bisa go international dan dilirik jutaan mata dunia. Dengan menggalang berbagai kerjasama, beasiswa, tukar mahasiswa atau apapun.
Terakhir, inilah reaksi kegairahan saya di ajang iB Perbankan Syariah Kompasiana Blogging Day. Semoga, apa yang dikemukakan saya dapat memecut kita semua untuk segera berlari mengejar ketertinggalan. iB Perbankan Syariah, terus berkarya untuk negeri!