Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tragedi Terlarang

21 Oktober 2019   23:02 Diperbarui: 21 Oktober 2019   23:00 32 1
Hampir setiap hari, pedagang keliling itu berjualan di teras rumah Juragan Manto. Sejak pagi menyingsing, dia sudah menggelar barang dagangannya. Mulai dari sayur-mayur, ikan, daging, bumbu dapur dan aneka macam jenis makanan yang lainnya. Sejak pagi pula, sudah banyak pembeli yang menghampirinya.

Barangkali karena keramahannya, sehingga banyak pembeli, utamanya ibu-ibu, yang senang berbelanja kepadanya. Selalu melayani dengan sabar. Apalagi jika menghadapi ibu-ibu yang cerewetnya minta ampun. Selalu saja menawar. Selalu saja minta potongan, seratus, dua ratus dan seterusnya.

Menurut sang pedagang keliling. Hampir semua ibu-ibu melakukan itu. Tak terkecuali bu RT. Selalu saja menawar sampai titik terendah. Sudah begitu, jika belanja, seringkali berhutang. Kadang kala sampai lupa membayarnya. Jika sudah begitu, sang pedagang hanya bisa pasrah. Percuma saja menunjukkan semua catatan hutang yang dibuatnya. Sudah pasti, si ibu itu tidak akan percaya.

Hasil berjualan setiap hari dan pendapatan sang istri sebagai buruh bersih-bersih, sebenarnya, untungnya cukup besar. Lebih dari cukup, jika sekedar untuk makan, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai pendidikan kedua anaknya. Tapi memang, sang pedagang, tiap bulannya harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membayar kredit motor untuk anak laki-lakinya yang besar.

Waktu semakin siang. Jumlah pembeli pun semakin berkurang. Jika sudah seperti itu, sang pedagang biasanya sudah bersiap untuk mengemas kembali barang dagangannya. Berpindah ke tempat jualan yang lainnya. Yaitu di depan rumah Mbak Juh, yang depannya sekolah SD. Jam-jam seperti ini, ibu-ibu sudah pasti setia menunggunya.

Semua barang sudah diangkut di atas motor. Sang pedagang keliling sudah bersiap meluncur ke tempat selanjutnya. Baginya, tujuannya kali ini paling membuatnya bersemangat. Bukan lantaran banyaknya ibu-ibu yang sudah menunggunya. Melainkan, di situ dia bisa melihat wajah cantik Mbak Jum. Janda anak satu, yang ditinggal suaminya pergi, entah ke mana.

Banyak Ibu-ibu di sana yang sudah mengira. Bahwa sang pedagang keliling, ada rasa pada Mbak Jum. Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Setiap kali Mbak Jum berbelanja, selalu saja diberikan diskon besar-besaran. Ditambahi ini, itu dan sebagainya. Dan setiap kali berhutang, sang pedagang, tak pernah terdengar menagihnya.

Sampailah sang pedagang keliling di depan rumah Mbak Jum. Segera ia parkir motor yang memuat barang dagangan. Semua digelar. Sehingga ibu-ibu bisa leluasa untuk memilih barang yang dikehendaki. Semua pembeli merubung sang pedagang. Membeli sayur, daging, ikan dan sebagainya. Menawar seratus, lima ratus, hingga berhutang seribu atau dia ribu. Dan sang pedagang, selalu terlihat ramah pada semua langganannya.

Hampir semua pelanggan sudah dilayani. Barang dagangan pun tinggal menyisakan sedikit sisa. Namun dari pengamatan sang pedagang, ada satu yang belum berbelanja. Ya, Mbak Jum, belum ada. Sang pedagang keliling, terus saja menanti. Barangkali, Mbak Jum ketiduran, atau sedang mencuci, sedang ada tamu, atau anaknya sedang rewel.

Pandangan sang pedagang keliling tertuju pada pintu rumah Mbak Jum. Dipandanginya, seperti tertutup. Sepi, seperti memang sedang tidak ada di rumah. Sekali tak memandang wajah perempuan pujaannya, membuat hati sang pedagang keliling gundah. Ada rasa penasaran. Hingga akhirnya, dia mendekat ke rumah Mbak Jum.

"Mbak ... Mbak Jum" kata sang pedagang keliling sambil mengetuk pintu yang sedari tadi tertutup.

"Mbak Jum tidak belanja?"

"Mbak ...."

"Mbak Jum"

Tetap saja tak ada jawaban dari dalam rumah. Sang pedagang keliling berpikir, jangan-jangan perempuan idamannya itu memang sedang pergi. Entah ke pasar, atau ke mana saja. Memastikan bahwa hari ini diia tak bertemu dengan Mbak Jum, segera dia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu. Namun baru mau melangkah, ada semacam suara mencurigakan dari dalam.

Sang pedagang keliling kembali melihat keadaan rumah. Mengendus dari kaca jendela ruang tamu, yang terdapat celah-celah cahaya. Mengintip apa yang sedang terjadi di dalam. Namun tak terlihat sesuatu. Kemudian pindah ke jendela kamar. Kebetulan ada sedikit celah. Kayu jendela itu berlubang, sehingga memungkinkan mata sang pedagang keliling dapat melihat keadaan di dalam kamar.

Betapa terkejutnya. Dia melihat, dengan mata dan kepalanya, Mbak Jum, sedang bergumul dengan seorang laki-laki. Nafas sang pedagang keliling, menghela lebih dalam. Keringatnya bercucuran. Tak percaya, dengan apa yang dilakukan oleh janda yang kata sebagian orang tak mudah untuk didekati.

"Perempuan murahan. Masak siang-siang seperti ini, tega-teganya berbuat seperti itu." Batin sang pedagang keliling.

Tak mau membuat orang-orang tahu. Sang pedagang keliling, hanya menyimpan apa yang telah dilihatnya. Meski sekujur tubuhnya gemetar dan hatinya seperti teriris-iris. Segera di bergegas, mengemasi seluruh barang dagangan dan diangkut di atas kendaraan bermotornya. Rasa-rasanya, sudah tak ingin lagi melanjutkan berdagangnya. Ingin segera pulang dan tidur.

Saat perjalanan pulang, melewati pematang tanpa sengaja, dia berpapasan dengan Mbak Jum. Betapa terkejutnya, melihat perempuan yang baru saja dilihatnya di kamar, sekarang sudah terlihat berjalan dengan anaknya di pinggir jalan. Sang pedagang keliling, segera menghentikan motornya. Menghampiri Mbak Jum.

"Mbak ... Mbak Jum" teriak pedagang keliling, hingga menghentikan langkah Mbak Jum.

"Iya, Mas."

"Sampean benar Mbak Jum?" pedagang keliling serasa masih tidak percaya.

"Ya iya lah, Mas. Memang siapa? Ini saya Jumairoh. Saya baru mengantar si kecil periksa dari puskesmas. Memang ada apa toh Mas?"

"Tadi, saya melihat, kamu di kamar. Sedang ..."

"di kamar? Sedang ... sedang apa maksudnya, Mas?"

"Sedang itu ... sama laki-laki."

"Ngawur. Sampean jangan ngawur. Saya dari tadi pagi, sudah meninggalkan rumah dengan si kecil. Yang di rumah saya itu ya istri Sampean. Yang saya minta menjaga rumah dan bersih-bersih."

"Istri saya? Yatimah?"

"Iya, yang jaga rumah saya ya istri sampean."

Sang pedagang keliling tidak percaya dengan semua yang dilihatnya. Dia membuang semua barang dagangan di atas sepeda motornya. Bergegas, dia tarik gas motornya dengan kencang. Memastikan, siapa perempuan yang baru saja dia lihat di rumah Mbak Jum.

Sampai di sana. Dia gebrak pintu rumah. Hingga pintunya roboh dan langsung terbuka. Amarah dalam diri sang pedagang keliling tak terbendung lagi. Langsung menuju ke pintu kamar. Langsung dobrak. Dan benar saja, dia menjumpai istrinya, dengan laki-laki lain. Supono, sesama tukang sayur. Yang selalu menjadi teman curhatnya.

"Kurang ajar kamu Pono!"

"Sabar Mas ... Sabar"

Pedagang keliling itu, dengan cepat memukulkan batang linggis, tepat ke kepala Supono. Darah bercucuran. Seketika tubuh Supono roboh. Tengkurap tanpa busana. Tubuhnya bermandikan darah segar, yang terus mengalir dari kepalanya.

Istrinya terus saja menangis. Minta ampun. "Saya minta maaf, Mas. Saya mengaku salah. Tapi mohon jangan lakukan"

Tangan pedagang keliling, dengan cepat mengibaskan batang linggis ke kepala istrinya. Dan seketika, tubuh tak berbusana itu langsung terkulai ke lantai. Berlumuran darah merah segar. Roboh dan akhirnya tak bernyawa.

Jepara, 21 Oktober 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun