Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Tak Lagi Untukmu

22 Desember 2018   13:48 Diperbarui: 22 Desember 2018   14:04 130 1
Oleh : Nur Azis

Lelaki tua itu terus berjalan menyusuri jalan setapak yang masih berbatu. Langkahnya masih kuat, meski beberapa kali dia harus terhenti, untuk sekedar mengatur nafasnya. Rambutnya sudah memutih, agak panjang hingga menutupi telinganya. Jaket tebal berwarna hitam, agak lusuh, membungkus tubuhnya yang kurus.

Tepat di depan sebuah rumah tua. Yang terbuat dari kayu tak berwarna. Halamannya luas, hijau, rerumputan tumbuh subur di atasnya. Ada beberapa ayam kampung yang sedang mencari apa saja di halaman itu. Lelaki tua itu, menghentikan langkahnya. Dia menatap rumah itu, seakan membawa ingatannya pada sesuatu.

Ada dua anak kecil yang sedang berlari-larian. Mereka seperti kakak beradik. Yang kecil terus mengejar yang besar. Sambil berteriak, "Kembalikan mainanku." Sementara yang besar terus berlari, dengan memegangi mainan mobil-mobilan. Hampir saja, mereka menabrak si lelaki tua itu.

Namun tak lama, yang besar tadi, waktu berlari kakinya tersandung batu. Jatuh, dan mainan mobil-mobilannya terlepas. Dengan cepat, si kecil bergegas mengambil mainan itu dan lari entah ke mana.

Lelaki tua itu mendekati anak yang besar tadi, sambil membantunya untuk berdiri. Diusap-usap kakinya, tidak berdarah, hanya lecet di bagian lututnya.

"Sudah, tidak apa-apa, Cuma lecet sedikit saja kok Nak." Kata Lelaki tua, sambil menyeka air mata anak itu.

Anak itu masih merintih, menahan sakit di lututnya.

"Rumahmu di mana?" tanya lelaki tua.

Anak itu, menunjuk ke arah rumah tua. Bangunan dari kayu tak berwarna, yang sedari tadi terus di pandangi oleh lelaki tua itu.

"Itu rumahmu?"

"Iya Kek."

"Kamu Bastian?"

"Iya Kek."

Lelaki tua itu seketika merengkuh tubuh Bastian dan mendekapnya. Bastian, yang merasa asing dengan lelaki tua itu, coba untuk melepaskan diri.

"Jangan takut Nak." Lelaki tua itu masih memegang tangan Bastian.

Cepat, Bastian mengibaskan pegangan lelaki tua itu. Dia langsung berlari ke dalam rumah.

Lelaki tua nampak kecewa. Bastian tak mengenalnya, bahwa lelaki yang baru saja mendekapnya itu adalah Marco bapaknya.

Dari dalam rumah, Bastian menarik ibunya keluar rumah. Dia memberitahukan, ada lelaki tua yang mencurigakan di luar.

Di depan pintu rumah, Anggita mengarahkan pandangannya ke sekeliling. "Mana ... tidak ada siapa-siapa Bastian."

"Itu Bu, di depan pohon besar itu." Bastian menunjuk lelaki tua yang berdiri di samping pohon mangga di bahu jalan depan rumahnya.

Marco melangkahkan kakinya, mendekat ke arah Anggita dan Bastian.

"Dia berjalan ke sini Bu, ... siap dia Bu?" Tanya Bastian. Tangannya terus berpegang tangan ibunya.

Anggita menghela nafas panjang. Ada raut kemarahan pada wajahnya. Tangannya semakin erat memegang Bastian. "Ayo kita masuk ke dalam Nak."

"Tunggu Anggita ... tunggu!" Teriak Marco.

Mendengar teriakannya, Anggita menahan langkahnya. Dia berbalik. Menatap Marco. "Untuk apa kau menemuiku?"

Marco terus melangkahkan kakinya. Mendekat pada Anggita. Hingga mereka saling berhadapan.

"Bastian, kamu masuk dulu ke dalam."

"Iya Bu." Bastian langsung masuk ke dalam rumah.

"Anggita ...." Sapa Marco.

"Jangan mendekat!!!"

"Aku ingin menjelaskan semuanya."

"Tak ada yang perlu di jelaskan. Semua sudah jelas. Kamu adalah laki-laki bedebah."

"Terserah kau sebut apa Aku, tapi kamu perlu mendengar penjelasanku."

"Menjelaskan apa? Kau tinggalkan aku dengan Bastian yang baru dua tahun, sementara perutku juga masih mengandung adiknya. Kau mau menjelaskan itu, kamu mau menjelaskan bahwa kamu tidak bisa meninggalkan istrimu ... Karena hidupmu, mengemis di telapak kaki istrimu itu."

Dulu, Anggita adalah seorang sekretaris, di kantor tempat Marco bekerja. Mereka saling jatuh cinta, meski Anggita tahu, Istri Marco ada pemilik Perusahaan itu.

Usia mereka terpaut jauh. Saat itu, Anggita baru berusia dua puluh tiga tahun. Sementara Marco sudah lima puluh tahun lebih. Marco dan istrinya, belum dikaruniai seorang anak.

Anggita keluar dari tempat kerjanya. Tanpa sepengetahuan istrinya, Marco hidup bersama dengan  Anggita. Hingga lahir Sebastian. Marco dan Anggita mampu menyembunyikan hubungan mereka. Namun, Anggita selalu menuntut Marco. Segera menceraikan istrinya. Anggita, ingin membangun rumah tangga seperti orang-orang pada umumnya.

Hampir tiga tahun lamanya, mereka dapat menutup rapat-rapat hubungan itu. Hingga Anggita mengandung anak keduanya, adik Bastian. Entah dari mana, istri Marco mengetahui hubungan itu.

Terjadi pertengkaran yang hebat. Marco dengan istrinya. Marco tak berkutik. Dia adalah seorang suami miskin, tak memiliki apa-apa. Semua kekayaan itu adalah milik istrinya. Dulu, Marco adalah sopir pribadi istrinya.

Istrinya memberinya pilihan yang teramat sulit. Harus memilih, istrinya atau Anggita. Jika dia memilih istrinya, maka saat itu juga dia harus meninggalkan Anggita, tidak lagi menghubunginya. Dan jika memilih Anggita, maka istrinya menuntut di ceraikan saat itu juga, konsekuensinya, Marco akan kembali hidup miskin.

Marco tak banyak memiliki pilihan. Dia memilih tetap hidup dengan istrinya dan meninggalkan Anggita, wanita yang dicintainya. Istrinya mengancam, jika sekali saja, dia mengetahui bahwa suaminya itu menemui Anggita, saat itu juga dia minta diceraikan.

Marco tak sempat berpamitan dengan Anggita. Dia meninggalkan wanita yang sedang mengandung anaknya itu. Pergi jauh dengan istrinya ke luar negeri. Marco dan istrinya, menetap di Kanada.

"Aku memang laki-laki pengecut Anggita, tapi, hari ini aku kembali ke sini untuk menemuimu."

"Untuk apa? Aku sudah tak mencintaimu lagi."

"Aku tinggalkan istriku, yang sudah hidup bersamaku lebih dari tiga puluh tahun, aku terbang dari Kanada dengan uang secukupnya. Untuk menemuimu."

Rumah tangga Marco dengan istrinya, terasa hampa. Marco tak lagi punya harga diri. Semua diatur oleh istrinya. Bahkan untuk sekedar membeli celana dalam sekalipun, harus mendapat izin istrinya. Marco tak lebih seperti piaraan istrinya.

Sangat berbeda dengan Anggita. Tak hanya cantik. Tapi dia adalah wanita yang penuh dengan kasih sayang. Bersamanya, Marco menemukan arti kebahagiaan.

Namun, lagi-lagi, uang menjadi pertimbangannya saat itu. Jika dia bercerai dengan istrinya, kemudian miskin, apakah Anggita masih mau menerimanya. Sementara usianya sudah lebih dari setengah abad. Usia yang tak lagi muda.

"Aku telah menceraikan istriku Anggita. Bertahun-tahun, pikiranku selalu bergejolak. Memikirkanmu di sini. Memikirkan Bastian juga adiknya. Aku sangat mencintai kalian."

"Kau telah menceraikan istrimu?" Tanya Anggita.

"Iya ..." Jawab Marco dengan tegas.

"Bodoh kamu ...."

"Maksudmu?"

"Kau akan miskin diusia tuamu. Tak ada yang merawatmu, tak ada pula perusahaan yang mau menerimamu bekerja. Kau sudah tua Marco."

"Ada kau Anggita, kau yang akan merawatku. Kita akan hidup bersama dan bahagia. Bukankah itu dulu ...."

"Itu dulu Marco ... sebelum Kau meninggalkan aku dan Bastian. Sekarang tidak ...."

"Tidak ... ?"

"Iya Marco, aku tidak lagi mencintaimu."

"Tidak mungkin Anggita, Kau pasti membohongi hatimu. Aku tahu, Kau sangat mencintaiku. Kau pernah mengatakan itu padaku."

"Sekarang tak ada lagi namamu di hatiku Marco. Hati ini sudah milik orang lain. Aku sudah menikah dengan Airlangga."

"Tidak mungkin .... tidak mungkin kau menikah dengan laki-laki itu. Aku tahu, dia laki-laki yang amat miskin. Dia hanya seorang office boy kantor."

"Aku tak pernah memandang semua itu Marco. Sama saat aku mencintaimu dulu, aku tak pernah melihat usiamu, bahkan aku tak peduli bahwa kamu sudah punya istri. Cintaku, bukan karena itu semua, dia datang begitu saja. Dan pergi begitu saja. Seperti perasaanku kepadamu."

"Tapi Anggita ...."

"Cukup Marco. Kau pergilah ... Sebentar lagi, suamiku pulang. Aku tak mau, dia melihatku denganmu. Pergilah ...."

Anggita masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintunya. Hingga tak lagi melihat Marco. Tak terasa, matanya berlinang air mata. Perasaannya kepada Marco tak bisa hilang begitu saja. Dia telah berbohong. Anggita masih mencintainya.

Tapi, tak mungkin dia mengkhianati Airlangga. Orang yang telah merangkulnya. Saat semua orang menjauh, saat semua orang tak mau berpihak pada Anggita. Airlangga lah, sosok laki-laki setia yang selalu menguatkan hatinya. Dan menerima Anggita apa adanya.

Marco, meninggalkan rumah kayu tak berwarna itu. Hatinya pedih. Dia juga tak tahu, malam itu, akan bermalam dimana. Padahal, awan mulai menggulung di langit yang hitam.


Jepara, 22 Desember 2018











KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun