Dalam paparannya, saat jadi narasumber Tony Rosyid, mengatakan siapapun presidennya, pasti akan ia kritik.  Termasuk jika  Prabowo jadi presiden.  Sedangkan terkait debat kedua capres kemarin, ia melihat soal data-data yang diungkap datanya overload. Banyak kesalahan.
" Apakah ini by design, itu bisa kita track recordnya dalam sepanjang debatnya. Kenapa bisa salah, itu petunjuk dia tidk kuasai masalah. Jadi leadership Pak Jokowi perlu dipertanyakan dalam hal ini. Karena soal data ini menteri-menteri bisa dipanggil dan diambil datanya," kata dia.
Ia perbandingan dengan pemilihan presiden  di Amerika. Saat  jadi capres, Donal Trump dalam debat banyak menyerang lawannya.  Tapi masyarakat Indonesia tidak bisa disamakan dengan rakyat Amerika. Masyarakat pemilih di Jakarta misalnya,  80% nonton debat. Dan mereka memilih berdasarkan referensi debat. Nah, di Indonesia dalam konteks nasional preferensi pemilih bisa ditelaah dari sisi sosiologis dan dan referensi psikologis. Sebab siapapun yang menang tak linier memenangkan pertarungan di Pilpres. Ini karena faktor psikologi.
"Cek data dan cek fakta, ketika petahana masuk wajahnya seperti orang kalah. Ketika selesai debat berubah jadi wajah pemenang. Tapi Tempo Kompas dan Detikcom cenderung tidak kritik tajam tapi pasca debat kritiknya tajam-tajam. Dlm konteks ini  02 (Prabowo) memenangkan pasca debat dan secara psikologis pendukung 02 merasa menang pasca debat. Ini penilaian obyektif saya," tutur Rosyid.
Rosyid melihat Prabowo dalam debat mampu menarik hati pemilih. Ini bukan soal siapa yang menang dalam debat tapi  siapa yag paling berhasil mengambil empati dari masyarakat." Kenapa saya kritik Pak jokowi karena beliau presiden saya, presiden kita semua sebagai rakyat Indonesia. Karena itu saya sudah amanahkan beliau pimpin Indonesia," katanya.
Ia sendiri menilai, Jokowi sebagai Presiden tak sepenuhnya bertindak sebagai pengendali dalam pemerintahan. Karena banyak sekali hal-hal blunder yang tidak perlu.
" Jadi presiden itu tak harus pinter-pinter amat, yang penting terbuka dan menerima masukan dan pendapat agar bisq diambil keputusan-keputusan yang kuat. Soal apakah Pak Jokowi hoaks atau tidak, saya lebih mau  katakan bahwa data-datannya kurang pas kemarin,"katanya.
Kenapa datanya tidak pas, lanjut Rosyid,  karena di usia Jokowi,  tidak mudah lagi menghafal data-data seperti itu. Yang penting tidak salah atau tidak dalam data itu. Dan yamg paling penting adalah keterbukaan meminta maaf, sebab  data-data itu salah.
" Orang Indonesia kalau ada orang berani mengakui kesalahan itu elektabilitasnya bisa naik. Tapi kalau wajahnya ngotot meskipun datanya benar tapi kesannya ngotot pasti orang sulit memilih," katanya.
Pembicara terakhir Beti Nurbaiti, seorang dosen yang juga Dewan Pakar di Badan Pemenang Nasional Prabowo-Sandiaga menyorot soal janji atau target calon. Karena itu,  kalau ada acara, setiap ditanya oleh media,  ia selalu katakan, Prabowo targetnya adalah  bagaimana memberikan janji yang tak mungkin diwujudkan. Janji  itu yang realistis. Yang lebih fundamental.
" Â Jadi harus tingkatkan ekomoni dari bawah secara fundamental sekali agar ada penurunan pengangguran," ujarnya.
Beti kemudian menyorot soal kans Prabowo untuk menang dalam Pilpres. Ia mengingatkan, pendukung Prabowo tak boleh terhanyut oleh euforia dukungan. Yang lebih penting justru adalah menjaga suara. Semua pendukung harus mengawal di TPS.
" Ada yang tahu enggak sekaranga kertas surat suara udah dicetak berapa banyak, karena ada 6 perusahaan yang ditunjuk untuk cetak surat suara," katanya