Sebagai pembuka diskusi, Ketua Seknas, M Taufik seperti biasa memberi sepatah dua kata sebagai sambutan. Kata Taufik, selama ini pembangunan infrastruktur adalah yang selalu dibanggakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi Taufik mengkritik, setiap ia menyaksikan peresmian sebuah pembangunan infrastruktur, ternyata proyek itu belum selesai. Misalnya, proyek jalan.
" Â Mungkin setiap 2 kilometer diresmikan," sindir Taufik.
Menurut Taufik, sekarang pertanyaannya  pembangunan infrastruktur yang dilakukan jor joran itu apakah tepat atau tidak? Pertanyaan berikutnya, apakah  uang negara yang difokuskan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur sudah tepat.  Taufik juga mengkritik kebijakan Jokowi yang menggratiskan tol Suramadu.
" Yang saya khawatir bahwa Jagorawi digratiskan itu, kenapa mesti Suramadu. Saya kira perlu kajian apakah memang pembangunan infrastruktur itu sesuai dengan kebutuhan hari ini," katanya.
Setelah itu baru para narasumber yang membeberkan pandangannya tentang tema yang diangkat dalam diskusi. Kardaya Warnika, Â narasumber yang pertama bicara. Menurut Kardaya, infrastruktur memang penting karena itu menyangkut kebutuhan masyarakat. Tapi meski begitu, ia berpendapat dalam membangun infrastruktur harus dilihat prioritasnya. Misal waktunya kapan. Lalu, jangkauan infrastruktur yang harus jangka panjang. Dan, memang harus seimbang, kegunaan jangka pendek dan kemanfaatan jangka panjang.
" Â Jadi harus seimbang jangka panjang dan pendek," katanya.
Misalnya, kata dia,  jika perekonomian lagi jeblok, jangan terlalu memaksakan menggenjot  infrastruktur. Ia contohkan Malaysia, negeri jiran  itu menggenjot pembangunan infrastruktur saat pertumbuhan ekonominya ada di kisaran 8-10 persen. Sementara saat ini,  perekonomian Indonesia di bawah rata-rata Negara Asia.
" Di situ ada Myanmar, Nepal, Bhutan. Jadi jangan lagi ada yang mengatakan perekonomian kita bagus. Di Asean kita itu nomor dua dari yang terendah," katanya.
Kardaya juga menilai, pembangunan infrastruktur yang digenjot habis-habisan oleh pemerintahan Jokowi, kelihatannya agak ugal-ugalan. Bahkan  pembangunan infrastruktur seolah-olah hanya proyek jalan saja. Kata Kardaya, ia pernah  berdiskusi tentang pembangunan infrastruktur dengan Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Ketika itu ia masih di Komisi XI DPR dan sedang lakukan kunjungan ke Sumsel.
" Ada proyek. Di situ ada ketentuan peraturan menteri bahwa proyek infrastruktur itu harus syaratnya return-nya di atas 10% baru bisa dibiayai SMI. Saya tanya yang itu 2%, 3%, jawabnya 'ini penugasan'. Saya katakan kalau dengan penugasan, tak usah ada peraturan. Â Jalan tol juga, begitu dibangun ditentukan berapa lama investasinya lalu berapa tahun mau ditarik biayanya. Setelah beberapa tahun, itu harus digratiskan. Di Amerika kan begitu," urainya.
Kardaya juga mengkritik pembangunan infrastruktur kelistrikan yang dulu ribut hendak membangun hingga 35 ribu watt. Ternyata, sekarang tak tercapai semuanya. Begitu juga dengan pembangunan kilang. Sudah berpuluh-puluh tahun itu dibicarakan tapi tak ada realisasinya. Harusnya infrastruktur yang mendesak yang harus segera.
" Ini kelihatannya salah diagnosa. Atau lebih parah lagi belum diperiksa langsung dikasih obatnya. Baru satu hari udah dicabut," katanya.
Sementara Dewi Kartika, aktivis KPA dalam paparannya lebih menyoroti masalah agraria dalam pembangunan infrastruktur di era Jokowi. Kata Dewi, masalah agraria di Indonesia  masih sangat pelik. Bahkan kalau yang digunakan itu dari sisi  legalistik, maka mayoritas masyarakat terkait kepemilikan tanahnya kebanyak ilegal. Dan, sejak awal pembangunan infrastruktur ini membutuhkan tanah dalam skala besar. Harusnya sudah diatur bagaimana prosedurnya agar tidak melanggar.
" Sayangnya, dalam pengalaman kami mendampingi konflik-konflik agraria, banyak yang melanggar dan sifatnya represif," kata Dewi.
Ia contohkan pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka,  Jawa Barat. Di tahun 2016, kekerasan terkait dengan proyek bandara meningkat. Penyebabnya karena sejak awal tidak ada diskusi dengan masyarakat, misal terkait dengan pengganti kompensasi. Penggantian kompensasi pun tidak transparan. Bahkan bersifat memaksa. Tidak hanya itu, TNI-Polri juga terlibat dalam  melakukan mobilisasi.
" Dari 11 tinggal satu desa tersisa. Desa Sukamulya menolak dijadikan bandara. Tapi dipaksakan untuk diukur. Â Melakukan mobilisasi TNI, Polri. Ada 1.200 TNI dan Polri termasuk Satpol PP. Anehnya Gubernur Jabar, dan pemprov lebih banyak lakukan counter di media ketimbang dialog dengan masyarakat. Padahal ada bukti penolakan. Dari sejak awal sudah banyak kepentingan. Karena pemerintah juga ingin membuat di Karawang," kata Dewi.
Pada akhirnya, proyek bandara di Karawang tak jadi. Menurut Dewi, ini karena  seringkali pembangunan infrastruktur salah sasaran dan tidak efektif. Jadi sejak awal, perencanaan, analisis sudah salah kaprah. Kasus Desa Sukamulya adalah contohnya. Desa itu luas tanahnya 700 hektar yang terdiri dari pemukiman dan sawah produktif. Desa tersebut termasuk lumbung pertanian di Jawa Barat.
" KPA mencatat pembangunan infrastruktur sebagai penyebab konflik agraria terbesar nomor dua. Tahun 2017 menjadi penyumbang konflik tertinggi nomor tiga. Konon Pak Jokowi sedang memperjuangkan reformasi agraria. Salah satunya memperbaiki ketimpangan masalah agraria. Nah, sayangnya pembangunan infrastruktur berkontribusi terhadap konflik agraria. Pembangunan infrastruktur juga berkontribusi mengurangi basis-basis petani," kritik Dewi.
Faktanya, berdasarkan hasil sensus pertanian dari 2003 sampai 2013, tercatat 5,9 juta hektar sektor pertanian beralih fungsi ke non pertanian. Bahkan per tahun, sebanyak 100 hingga 110 ribu hektar lahan pertanian berubah fungsi. Pembangunan infrastruktur berkontribusi menurunkan kelas-kelas petani. " Bisa dibayangkan 10 tahun lagi sensus pertanian dilakukan, jumlah rumah tangga petani tergusur," ujarnya.
Data lainnya dilansir Kementerian Perindustrian yang merilis bahwa sampai tahun 2019, pembangunan infrastruktur membutuhkan sekitar 133 ribu hektar tanah. Apalagi sekarang Presiden Jokowi sudah mengeluarkan Perpres Nomor 56/2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
" Ini kami khawatirkan akan peraprah ketimpangan struktur agraria," katanya.
Narasumber lainnya, Uchok Sky Khadafi, mengatakan kalau dilihat dari proses pembangunan infrastruktur yang sekarang digenjot habis-habisan oleh pemerintah, Â banyak yang tak nyambung. Akibatnya tidak jelaw mana yang utama dan yang prioritas. Menurut Uchok, tak ada lagi.
" Masalah infrastruktur memang ini diutamakan Presiden Jokowi. Katanya sih agar logistik murah, pemerataan ekonomi, macam-macam alasannya. Tapi kalau kita lihat proses pembangunannya, argumen itu enggak nyambung. Karena di dalam pembangunan infrastruktur ini, di-list dijual kepada investor," tuturnya.
Kata Uchok, proyek infrastruktur didagangkan. Akibatnya, tak jelas mana yang utama dan yang prioritas. Sekarang yang lebih penting, mana  yang laku duluan. Itu lebih utama. Misal " LRT di Palembang dibangun, terutama bukan untuk logistik, pemerataan ekonomi, juga  enggak ada gunanya," kata dia.
Selain itu kata Uchok, dalam pelaksanaannya tidak ada persaingan usaha. Yang ada penugasan BUMN. Jadi perusahaan swasta seperti dibiarkan mati. Proyek-proyek besar seperti jalan tol dikuasai BUMN. Â Padahal biasanya BUMN melakukan sub kontrak ke bawah. Memang BUMN yang cari dana, Â tapi tetap saja pemerintah yang menjamin.
" Â Makanya uang berputar hanya di atas. Harusnya pembangunan infrastruktur untuk pelayanan publik. Masuk ke PU. Tapi kalau masuk ke PU, akan kena UU, defisit anggaran lebih besar dari PDB. Diakalin daripada kena UU, pembangunan infra ditaruh ke BUMN dengan alasan penugasan tersebut," katanya.
Uchok mencatat, hanya ada beberapa BUMN yang menguasai proyek infrastruktur, antara lain Adhi Karya, Jasa Marga dan Waskita. Ironisnya, utang BUMN  berdasarkan audit BPK tahun 2017,  meningkat 260 triliun. Uchok pun menilai, pembangunan infrastruktur justru  membebani BUMN. Bahkan tak tertutup kemungkinan bisa menghacurkan BUMN. Karena semua utang-utang yang harusnya ditanggung pemerintah,  ditanggung BUMN.
" Memang aset meningkat. Tapi kan aset-aset ini bisa djual. Ke depan itu nanti memang, BUMN Â infrastruktur bisa terbang tinggi, bisa mendaratnya jadi bangkrut. Kolaps," kata Uchok.
Sedangkan Marwan Batubara,  Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) dalam paparannya menyorot  Perpres Nomor 56/2018. Dalam Perpres  ini ada daftar. Dan dalam daftar tersebut ada rencana. Misalnya rencana untuk membangun dua kilang BBM yang baru yaitu di Tuban dan Bontang. Pembangunan dua kilang ini,  statusnya membangun dari baru.
" Ada 5 proyek kilang yang direvilitasiasi. Kilang-kilang tua di-upgrade untuk bisa hasilkan produk BBM yang bisa hasilkan produk-produk petrokimia. Itu ada 5 tempat, Cilacap, Dumai, Plaju, Balikpapan," katanya.
Tapi dalam perkembangannya, kata dia, ternyata  setelah dicanangkan sejak 2015, baru satu proyek yang ditetapkan, itu  belum dimulai pembangunannya. Proyek itu baru teken kontrak yaitu proyek  yang ada di Balikpapan.
" Yang lain-lain itu masih dalam porses pembebasan lahan. Atau negosiasi kontrak dengan partner. Kenapa bisa begitu? Ternyata salah satu alasan, kalau ini kerjasama Pertamina dengan partner dari Eropa, Asia, tidak bisa kita mengandalkan patner itu saja yang siapkan dana. Pertamina juga harus ikut siapkan dana," kata Marwan.
Mundurnya poryek tersebut, lanjut Marwan, karena  Pertamina tidak punya dana cukup untuk membangun kilang. Sebab ada kebijakan pemerintah yang memaksa Pertamina menanggung subsidi BBM. Dulu di zaman SBY, dana itu ditanggung APBN. Sekarang  di era Presiden Jokowi,  pertamina yang dipaksa menanggung beban subsidi.. Akibatnya tahun 2017,  Pertamina harus menangung beban subsidi BBM dan solar sekitar 20 triliun.
" Dengan kondisi rugi seperti ini, Pertamina sengaja mengulur-ulur waktu. Tertundanya ini bagi ketahanan energi sudah kita alami. Dengan kilang tidak terbangun. Impor BBM tetap tinggi. Devisa yang keluar terus meningkat. Nilai tukar rupiah jadi terus merosot," katanya.
Dampaknya kata Marwan,  kebijakan penugasan untuk mmbuat harga BBM tidak naik, menyebabkan BUMN menderita. Akibatnya, Indonesia akan terus tergantung impor dari Singapura. Dan, pemerintah juga seperti  membiarkan bisnis Pertamina digerogoti konglomerat melalui program SPBU mini. Kerjasama dengan Exon,  rencananya sampai 10 ribu SPBU mini. Kondisi Pertamina sekarang,  sudah dipaksa menanggung subsidi, bisnisnya pun digerogoti.
" Jangan dikira harga BBM murah lalu pemerintah tidak peduli dengan subsidi yang ditanggung APBN, unjungnya kita tergantung pada asing. Lambat laun nilai rupiah turun. Karena itu kita ingatkan sekarang tolong kebijakan populis dihentikan," ujar Marwan.
Marwan juga menyoroti soal penugasan BUMN. Kalau memang pembagunan infrastruktur itu penugasan, harusnya ada tanggungan pemerintah secara finansial. Dengan catatan, karena itu menjadi beban BUMN. Misal PSO itu kalau diperintahkan pemerintah kepada BUMN, dampak keuangannya, pemerintah harus ikut menanggung.
" Kita ingin menyadarkan kepada publik. Sekarang mungkin tidak terlalu fatal. Kilang tidak terbangun. Kalau sekarang belum dimulai, siap-siap kita akan impor ke Singapura. Proyeksi kilang di Singapura ada 3, ada Exon, Shell. Singapura punya kilang sendiri. Saya yakin ada mafia-mafia maupun pejabat sangat berkepentingan untuk menghambat pembangunan kilang," ujar Marwan.