Kasus Hadi sendiri dikaitkan dengan kasus sengketa pajak Bank Central Asia (BCA), salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Harus diakui, kasus pajak BCA, banyak menyedot perhatian publik. Bukan hanya karena kasus itu melibatkan Hadi yang jadi tersangka, kemudian seperti didiamkan. Tapi juga ini menyangkut sebuah bank besar di Tanah Air. Kasus Hadi sendiri, setelah hampir setahun jadi tersangka, tak tercatat ada langkah lanjutan dari KPK.
Kasus pajak BCA sendiri memang kemudian jadi polemik. Bagi yang mengikuti polemik sengketa pajak BCA mungkin gemas, dan bertanya-tanya dengan tak kunjung ditemukannya titik terang dari sengketa ini. Tak sedikit pula yang mengatakan munculnya kasus ini terlalu dilebih-lebihkan. Bahkan banyak yang menilai, kasus itu muatan politis cukup kental. Karena penasaran, saya coba mencari tahu soal kasus BCA ini. Saya mencatat banyak fakta yang tidak diketahui publik soal sengketa ini. Salah satunya saya dapatkan dari artikel yang dibuat oleh Prianto Budi Saptono tentang sengketa pajak ini yang dimuat di Harian Kontan 18 Mei 2014. Artikel itu menarik karena menceritakan kronologi lahirnya sengketa ini dan bagaimana duduk perkara sebenarnya. Dari artikel itu, saya berpendapat kasus ini sepertinya hanya persoalan sengketa antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan BCA. Jadi cuma persoalan administratif saja.
Dalam artikel itu diurai tentang awal mula sengkete. Awalnya, sengketa pajak BCA ini muncul gara-gara DJP mau menerbitkan SP3 atau Surat Perintah Pemeriksaan Pajak tahun 2002 untuk BCA. Di akhir-akhir, ternyata masih ada 10 item koreksi yag tidak disetujui BCA. Menurut SKPN PPh atau Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan, laba fiskal BCA Rp 174 miliar. Tapi, menurut pemeriksaan DJP, laba fiskal BCA Rp 6,7 triliun.
Menurut DJP, koreksi senilai Rp 5,77 triliun itu adalah penghapusan piutang macet. Dengan pengrhapusan piutang macet, DJP menilai beban BCA berkurang, maka laba fiskal BCA jadi Rp6,7 triliun. Sementara dari sisi BCA, koreksi senilai Rp 5,77 triliun itu sebagai pengalihan piutang macet. BCA yang statusnya waktu itu Bank Take Over (BTO) mengalihkan piutang macetnya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp 5,77 triliun. Landasannya, instruksi Menteri dan Gubernur Bank Indonesia.
Nah, piutang macet yang dialihkan ke BPPN itu kemudian ditagih oleh BPPN ke debitur. Dari penagihan itu, BPPN berhasil menagih Rp 3,29 triliun. BCA sebagai bank yang masuk kategorii BTO tidak menerima bagian dari penghasilan menagih Rp 3,29 triliun itu. Jadi sebetulnya, dalam hal ini negara (BPPN) justru menerima pemasukan Rp 3,29 triliun dari pengalihan piutang macet Rp5,77 triliun.
Dari situ, BCA melihat pengalihan piutang macet tidak menyebabkan kas BCA bertambah, sehingga tidak mungkin laba fiskal BCA menjadi sebesar Rp6,7 triliun. Sementara, DJP menilai koreksi Rp 5,77 triliun itu sebagai penghapusan piutang macet. Gara-gara perbedaan cara pandang ini BCA kemudian mengajukan keberatan pada Juni 2003 yang diterima keberatannya oleh DJP pada 2004.
Jadi kalau membaca artikel itu, pokok permasalahannya sebenarnya dari kasus sengketa pajak BCA, berangkat dari perbedaan cara pandang terhadap obyek pajak yang dimaksud. Sistem perpajakan, memiliki cara lain apabila sengketa pajak tidak berujung mufakat, yaitu melalui pengadilan pajak. Soal ini juga pernah dikomentari Profesor Romli Atmasasmita dan Pengamat Yustinus Prastowo bahwa persoalan sengketa pajak itu masalah administratif, bukan masalah pidana.
Jika Prianto Budi Saptono dalam akhir tulisannya mengatakan, argumentasi BCA kuat, maka demikian adanya Hadi Poernomo pada nota dinas tersebut. Pengalihan piutang tak bisa dianalogikan sebagai penghapusan piutang macet. Selain itu, keputusan menerima keberatan pajak itu murni sepenuhnya wewenang Direktur Jenderal Pajak. Kalau pun belum sepakat, masih bisa maju ke Pengadilan Pajak. Kita lihat saja nanti hasil akhirnya. Apapun hasilnya, keputusan hukum harus kita hormati.