Jokowi dan JK diangkat jadi presiden dan wakil presiden setelah menang dalam pemilihan presiden mengalahkan rivalnya pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Pada 26 Oktober 2014, Jokowi mengumumkan jajaran para menterinya yang akan membantunya di kabinet. Kabinet Jokowi dinamakan Kabinet Kerja. Maka seiring bergantinya kepemimpinan nasional, berganti pula personil kabinet. Pengisi Kabinet Kerja, mayoritas muka baru. Hanya Lukman Hakim, Menteri Agama yang merupakan muka lama. Ya, Lukman adalah menteri yang diangkat SBY sebagai menteri agama, menggantikan Surydharma Ali yang mundur karena telah ditetapkan jadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu yang masuk jajaran Kabinet Kerja Jokowi adalah Tjahjo Kumolo. Tjahjo oleh Jokowi diplot menjadi menteri dalam negeri. Pos Mendagri sebelumnya dipegang oleh Gamawan Fauzi. Tjahjo sendiri sebelum jadi menteri sudah malang melintang di dunia politik. Lelaki kelahiran Surakarta 1 Desember 1957.
Pernah berkiprah di Partai Golongan Karya, sebelum akhirnya hijrah ke kandang Banteng. Lewat PDIP, karier politik Tjahjo naik secara perlahan. Ia lama di Komisi I, sampai kemudian naik pangkat jadi Ketua Fraksi partai berlambang banteng moncong putih tersebut. Di Kongres PDIP di Bali, Tjahjo didaulat menjadi Sekjen, mendampingi Megawati Soekarnoputri yang kembali terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum PDIP.
Kemenangan Jokowi seakan jadi berkah politik bagi Tjahjo. Karena ia kemudian dipilih Jokowi untuk menjadi mendagri, sebuah jabatan menteri yang bisa dikatakan sangat strategis. Kementerian Dalam Negeri sendiri, bagi saya ibarat 'rumah kedua'. Kementerian ini adalah pos liputan saya. Saya mulai ngepos liputan di Kemendagri saat Mardiyanto menjadi mendagri menggantikan Moch Ma'ruf yang 'pensiun' jadi mendagri karena sakit. Selanjutnya, saat Gamawan jadi mendagri, saya pun tak berpindah pos liputan. Hingga bergantinya pemerintahan.
Senin, 27 Oktober 2015, jajaran Kabinet Kerja dilantik Jokowi di Istana Negara. Tentunya termasuk Tjahjo Kumolo yang sebelumnya telah diumumkan jadi mendagri. Setelah dilantik, Tjahjo bergegas ke kantor barunya yang memang jaraknya tak jauh dari Istana Negara. Senin itu, adalah hari pertama Tjahjo secara resmi menjadi mendagri. Acara pertama Tjahjo di kementerian yang akan dipimpinnya, adalah menggelar ramah-tamah dengan para pegawai di kementerian tersebut. Acara ramah-tamah itu, semacam perkenalan Tjahjo bahwa ia adalah bos baru di Kementerian Dalam Negeri.
Berbaju batik, Tjahjo pun beramah-tamah dengan jajaran pegawai dan pejabat di Kemendagri yang bakal jadi anak buahnya. Tak henti Tjahjo mengulas senyum. Setelah itu Tjahjo berpidato. Dalam pidatonya, mantan Sekjen PDIP itu menekankan tentang pentingnya sebuah kebersamaan. Katanya, ia sekarang sudah jadi bagian dari keluarga besar Kementerian Dalam Negeri. Karena itu ia minta, jangan sungkan untuk berbicara dengannya. Ia tak mau ada sekat. Hanya karena ia menteri, lantas semua pegawai menghormati berlebihan. Tjahjo tak mau dihormati berlebih. Apalagi kemudian ada jarak.
Sebab itu, ia tak mau dipanggil Pak Menteri atau Pak Mendagri. Baginya agak kurang sreg jika dipanggil Pak Menteri atau disapa karena jabatannya. Tjahjo minta, dipanggil nama saja, biar akrab dan tak ada jarak. Lebih enak, lebih bersahabat. Karena seorang atasan, tetap saja tak berarti apa-apa bila tanpa ada dukungan anak buah. Namun ia tak mau jadi atasan yang seperti majikan. Ia pun kembali menegaskan, panggil nama sama. "Panggil saya Pak Tjahjo atau Mas Tjahjo. Saya agak kurang suka dipanggil Pak Menteri atau Pak Mendagri," kata Tjahjo.
Mendengar itu saya hanya tersenyum. Baru kali ini saya dengar seorang menteri berpidato seperti itu. Baru kali ini pula, saya mendengar ada seorang menteri yang berterus terang tak mau dipanggil Pak Menteri. Padahal sebutan atau panggilan menteri punya bobot gengsi bagi yang menjabatnya. Sebutan itu akan membedakan dirinya dengan pegawai biasa, bahkan membedakan dengan dirjen atau kepala daerah. Bahkan acapkali ada pejabat yang kurang suka bila tak dipanggil dengan menyertakan jabatannya. Pejabat seperti itu jumlahnya saya kira cukup banyak. Mungkin mayoritas seperti itu. Mereka ingin jabatan yang disandang harus disertakan. Sekali saja anak buah alfa tak menyertakan jabatan kala memanggil, tak segan ia bakal menyemprotnya.
Bila memanggil tanpa menyertakan jabatan, dianggap tak sopan, kurang ajar dan tak hormat. Terlebih lagi, budaya patron client masih cukup kuat di negeri ini. Orang yang statusnya lebih tinggi dari yang lain, selalu merasa jadi juragan. Merasa jadi majikan yang harus dihormati setinggi langit. Tapi Menteri Tjahjo tak mau seperti itu. Ia ingin cukup dipanggil nama saja. Saya pun penasaran apakah yang dikatakan Tjahjo apa basa-basi atau tidak. Suatu waktu, untuk keperluan berita saya minta tanggapannya. Via layanan blackberry messenger, saya coba minta tanggapan Tjahjo atas suatu isu yang hendak saya garap jadi berita. Kebetulan, saya sudah punya nomor PIN BB Menteri Tjahjo. Saya pun mengawali permintaan tanggapan dengan memanggilnya Pak Menteri. Benar saja kala dia menjawab, ia kembali menekankan tentang keinginannya tak mau dipanggil Pak Menteri. "Mas, mungkin untuk nanti, panggil saja saya Mas Tjahjo atau Pak Tjahjo. Kedengarannya kurang akrab dipanggil Pak Menteri. Menteri kan harus dekat dan akrab dengan wartawan. Panggil saja saya Mas atau Pak Tjahjo ya," katanya.
Membaca jawaban dari Menteri Tjahjo, saya pun akhirnya menyimpulkan, ternyata apa yang diucap Tjahjo dalam pidatonya, bukanlah basa-basi. Tapi benar-benar itu keinginannya. Jika seperti itu baiklah Pak Menteri, untuk berikutnya saya panggil bapak, Mas Tjahjo atau Pak Tjahjo.