Taufik Andri, peneliti masalah terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian saat saya wawancarai, mengatakan, situasi Poso sebetulnya sudah mulai membaik. Intensitas teror mulai berkurang. Bahkan, dalam 5-6 tahun terakhir ini, tidak ada gejolak sosial dan politik yang serius. Masyarakat di Poso pun, sudah hidup tenang. Mereka sudah bisa bekerja, beraktifitas dan berdampingan dengan damai. Tapi, Andri mengakui, bila bara konflik masih menyala. Sekali digosok, bisa membara. Penyelesaian konflik yang tak tuntas, dimasa silam, masih meninggalkan residu konflik, yang setiap saat bisa meletup ke permukaan.
“Namun harus diakui bahwa penyelesaian konflik Poso belum optimal, dalam arti belum diselesaikan secara menyeluruh,” kata dia.
Poso memang menyimpan cerita kelam. Konflik pernah membara di tanah ini, usai Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Dan, konflik yang kerap disebut bernuansa SARA itu meninggalkan trauma berkepanjangan. Konflik sempat reda, Poso pun berangsur tenang. Namun, Poso kembali dikoyak teror. Serentetan aksi peledakan bom, hingga teror pembunuhan aparat, membuat Poso kembali bergolak.
“ Banyak korban-korban konflik tidak mendapat hak, baik hak perdata maupun hak untuk mendapatkan rehabilitasi secara pantas,” kata Andri.
Menurut Andri, ketidakpuasan semacam ini yang membuat beberapa individu yang tergabung dalam kelompok tertentu yang berpandangan radikal emenyatakan protes melalui berbagai aksi kekerasan di Poso, terutama dalam satu terakhir ini. Khususnya yang mencolok saat meletup peristiwa terbunuhnya beberapa petugas polisi pada tahun 2012 lalu.
“Keberadaan kelompok radikal, dalam hal ini kelompok Santoso di Poso, disamping karena alasan penyelesaian konflik yang tidak tuntas, juga karena rencana kelompok ini untuk menjadikan basis perjuangan. Sebagai tempat untuk mengembangkan kemampuan kader-kader kelompok radikal melalui pelatihan paramiliter,” tuturnya.
Andri yang getol meneliti masalah terorisme di Tanah Air, punya analisis, kenapa Poso jadi medan yang sulit bagi aparat memberangus kelompok teror. Menurut dia, ada dua faktor. Pertama, bahwa kelompok Santoso adalah kelompok lokal yang secara geografis sangat mengenal wilayah Poso dan sekitarnya. Poso secara topografi dikelilingi oleh komplek pegunungan dan wilayah lembah dan pesisir pantai.
Pengetahuan kondisi lapangan ini membuat Santoso dan kelompoknya mampu bertahan berbulan-bulan di hutan dan gunung, terhitung sejak Oktober 2012.
“Kedua, saya kira, karena ada kemungkinan, secara sosiologis kelompok ini mendapat bantuan dari masyarakat lokal. Dalam konteks bahwa, masyarakat tidak berani atau tidak mau memberikan informasi pada polisi mengenai keberadaan kelompok ini. Sehingga operasi polisi menjadi tidak efektif dan berlarut-larut,” urainya.
Mengenai Santoso sendiri, yang disebut sebagai pentolan utama Kelompok Poso, menurut Andri, adalah orang yang sebenarnya kecewa, dengan Jamaah Islamiyah (JI). Santoso anak transmigran, kemudian membangun kelompok sendiri, setelah Aceh, yang awalnya jadi medan candradimuka kelompok teror, diberangus aparat. Setelah Aceh di gerebek, kelompok radikal memerlukan basis baru. Poso dianggap strategis. Santosolah yang bisa dikatakan, pemmbuka jalan dijadikannya Poso sebagai basis setelah Aceh. Sebenarnya, kelompok Santoso, mencoba memancing agar konflik bersifat massif. Karena itu terjadi peristiwa pembakaran gereja. Tapi, sepertinya masyarakat menahan diri, karena trauma oleh konflik yang pernah terjadi. Jadi, sekarang ini, konflik di Poso, bersifat vertikal hanya antara kelompok bersenjata di Poso versus polisi.
“ Diupayakan oleh kelompok bersenjata agar massif, tapi gagal,”ujarnya.
Pada pelatihan 2011 di Aceh, peserta pelatihan terbilang banyak. Mereka terdiri dari beberapa angkatan, berasal dari Jakarta, Solo, Bima dan Medan. Setelah medan pelatihan Aceh berhasil dibongkar, mereka punya gairah ingin datang ke Poso.
“Kesukarelaan sifatnya” kata dia.
Dari informasi yang ia terima, ada 6 sampai 8 angkatan jebolan Aceh, yang mencoba masuk Poso. Setiap angkatan kurang lebih 20 orang. Andrie memperkirakan kekuatan kelompok Poso, sekitar 50 orang.
Mengenai keberadaan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang selalu dikaitkan dengan kelompok radikal termasuk kelompok Poso, menurutnya, secara struktural tak hubungan dengan kelompok di Poso. Kelompok Santoso juga tak ada hubungan dengan Abu Bakar Baasyir. Karena memang JAT tak pernah buka cabang disana. Tapi, bahwa dakwah aliran seperti yang dianut JAT, memang sempat masuk Poso, lewat Abu Tholut.
Tapi, Abu Tholut oleh JAT sudah dianggap tak aktif lagi, ketika dia terlibat dalam pelatihan di Aceh.
“ Pada 2009, Abu Tholut datang ke Poso. Dia bisa dikatakan jadi mentor disana,” katanya.