Program berita yang saya simak itu, saya tonton pada Selasa dini hari kemarin. Berita itu sendiri menceritakan keunikan menjalankan ibadah taraweh di Mesjid Agung, Solo, Jawa Tengah. Disana, jemaah yang beribadah taraweh 11 rakaat dan yang bertaraweh dengan 23 rakaat, saling berdampingan, tak ada gontok-gontongan. Tak ada saling menyalahkan, apalagi saling membid'ahkan satu sama lain. Padahal mereka yang beribadah berbeda rakaat solat dalam satu mesjid, meski berbeda ruangan.
Itu yang membuat saya tertarik maka saya pun coba mengingat-ingat kembali apa yang saya tonton, dan jadilan sebuah tulisan berjudul, "Mesjid yang Demokratis,". Tulisan itu saya posting ke Kompasiana tercinta, sekitar pukul 02.00 lewat. Dan tayang di Kompasiana pukul 02:13 WIB.
Selang beberapa lama setelah saya memposting tulisan itu, pukul 02:46:40 WIB, seorang kompasianer bernama Wong Cilik, dengan akun http://www.kompasiana.com/pejuangcilik, yang sepertinya belum tidur dan mungkin juga sedang menunggu waktu sahur, menuliskan komentarnya. Dalam komentarnya, si Mas Wong Cilik mengatakan, bahwa mesjid yang demokratis itu bukan hanya di Solo.
" Di tempat lain juga ada," kata dia.
Ia pun menyebutkan, bahwa di Lampung ada juga mesjid yang seperti di Solo. Di Lampung, pihak masjid menyediakan dua imam.
Kata Mas Wong Cilik, imam utama wajib 23 rakaat.
Bagi yang mau bertaraweh dengan 11 rakaat, harus mundur. Dan katanya ada ruangan tersendiri. Imamnya tersendiri. Sedangkan yang bertaraweh dengan 23 rakaat lanjut dengan imam yang pertama.
Lalu mampir lagi sebuah komentar dari kompasianer bernama Ramli Hasibuan dengan http://www.kompasiana.com/Ramli_Hasibuan. Dalam tanggapannya, Bang Ramli menuliskan, ia katanya belum pernah ikut solat taraweh di Mesjid Agung Solo.
Tapi, kata dia, di Mesjid Muqorrobin di kompleks tempat tinggalnya di Jogjakarta, kebijakan seperti yang dilakukan Mesjid Agung Solo juga diterapkan di Mesjid Muqorrobin.
Bahkan, kata dia, tidak ada pengelompokan bagi mereka yang hendak melaksanakan taraweh yang 11 rakaat maupun yang ingin 23 rakaat. Tapi, lanjutnya, sebelum yang 11 rakaat menunaikan witir, ada pengumuman dari imam solat. Sang imam mengumumkan bagi yang menjalankan 11 rokaat saatnya sudah akan witir.
Sementara bagi jemaah yang akan mengerjakan taraweh dengan 23 rakaat, diminta oleh sang imam harap bersabar menunggu yang 11 rakaat selesai menunaikan witir. Baru kemudian melanjutkan yang 23 sampai selesai. Kata Bang Ramli, damai bisa dinikmati apabila kita saling menghormati dan saling memaklumi.
Membaca dua tanggapan itu saya pun ikut merasakan damai. Ternyata di Indonesia, mesjid-mesjid yang demokratis bertebaran dimana-mana, di Solo, di Lampung, di Yogya dan mungkin di pelosok-pelosok. Salam demokrasi bertaraweh.