Satu hari, saat meliput ke acara Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, ke Padang, saya sempat berbincang dengan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek. Kebetulan dari bandara menuju tempat liputan saya satu mobil dengannya.
Dalam mobil, Reydonnyzar, banyak bercerita. Dari kisahnya saat ia di Padang, sampai cerita ke hal yang lebih pribadi tentang keluarganya. Reydonnyzar adalah lelaki asal Padang. Dia cerita tentang daerah Sulit Air, sebuah daerah yang ada di Padang. Kata dia, daerah itu memang sulit air. Karena sulit, orang disana banyak yang kreatif. Mentalnya tangguh. Hasilnya, banyak orang asal daerah Sulit Air berhasil.
Ketika ia sampai pada cerita tentang anaknya, ia sedikit tersendat bercerita. Wajahnya berubah serius. Apalagi kala ia bertutur tentang anaknya. Kini anaknya ada dua. Masih kecil-kecil.
Kata dia, puluhan tahun ia menikah, tak juga dikarunia anak. Puluhan tahun pula ia merasa ada yang kurang sempurna dirumah. Ragam cara dilakoninya, agar si buah hati itu bisa hadir. Doa pun selalu dipanjatkan pada Tuhan. Dan dalam hatinya ia menggurat janji. Andainanti si buah hati hadir, ia akan membangun mushola atau mesjid kecil. Nazar itu pun ia ceritakan pada istri tercinta.
Tahun demi tahun, si buah hati tak kunjung hadir. Ia pun gelisah. Resah dan acapkali merasa risau. Sampai suatu waktu, sang istri tercinta yang ia minta untuk berhenti kerja demi hadirnya si buah hati membawa kabar bahagia. Ia telat bulan. Dan benar saja, ia sedang mengandung.
Senang, bahagia, haru, bercampur menjadi satu. Ia mengaku protektif, begitu tahu istrinya hamil. Lahirlah si buah hati yang di nanti. Tangisan si buah hati yang pecah saat kelahirannya, kata dia, adalah nyanyian terindah dalam hidupnya.
Si buah hati pun hadir. Ia merasa sempurna sudah rumah cintanya. Sampai anaknya pun mulai beranjak belia. Istrinya yang mengingatkan. " Jangan lupa nazarnya"
Reydonnyzar pun kaget. Ia merasa tersengat. Dan ia bersujud, memohon ampunan pada Tuhan atas alfa tak segera menunai nazar. Setelah itu, nazar pun ia tunaikan, sebuah mesjid mungil ia bangunkan.
Cerita itu mungkin lazim terjadi pada semua orang yang punya satu impian atau cita-cita. Kadang saya berpikir, andai seorang yang punya semacam ambisi menjadi pejabat, lalu bernazar, jika itu terealisasikan, dengan tegas bertekad, " Saya tidak akan korupsi,"
Andai saja seperti itu. " Saya tak mau seperti Nazaruddin,"