Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Waisyak Tak Membawa Remisi

8 Mei 2012   18:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:32 134 0
Hari Raya Waisyak, bagi Tony Wong, seorang napi beragama Budha sepertinya tak membawa berkah. Ia awalnya berharap, di hari suci itu akan ada diskon hukuman atau remisi yang lazim diberikan pada napi beragama Budha. Tapi ternyata remisi itu tak datang.

Ia pun memprotesnya. Ia merasa harusnya mendapat hak remisi di hari Waisyak. Tony, yang beragama Budha, merasa di diskriminasi. Saat ini Tony, mendekam di Lapas Kelas II Pontianak.

Protes Tony, di ungkapkan oleh kuasa hukumnya, Dewi Aripurnamawati, dalam rilis pers yang dikirimkan lewat email pada saya , di Jakarta, Selasa (8/5).

" Klien kami,  tidak memperoleh remisi pada Hari Raya Waisak yang jatuh pada Minggu (6/5) lalu," kata Dewi.

Dewi  menyesalkan tidak adanya remisi bagi kliennya. Padahal, Tony Wong adalah penganut Budha. Menurut Dewi, napi beragama Islam dan Nasrani di Lapas Pontianak pada Idul Fitri dan Natal lalu mendapatkan remisi. Dan di Lapas lainnya pun seperti itu.

"Tapi mengapa klien saya dan beberapa napi lain yang beragama Budha tidak mendapatkannya? Ini kan sangat diskriminatif," katanya.

Dewi mengungkapkan,  ada beberapa napi penganut Budha yang kini dipenjara di Lapas II Pontianak juga tak mendapatkan remisi. Lebih disayangkan lagi, kata Dewi, kliennya tidak pernah mendapat penjelasan tentang alasan tidak adanya remisi saat Waisyak.

"Padahal remisi yang berkenaan dengan hari raya keagamaan sudah menjadi hak semua napi yang memenuhi syarat," ulasnya.

Dewi pun curiga, bisa jadi kliennya tak mendapatkan remisi karena menjadi justice collaborator sekaligus whistle blower dalam kasusnya yang terkait dengan kasus ilegal logging di Kalimantan Barat itu.

"Sepertinya ada  dendam dari pihak tertentu kepada Tony Wong. Apalagi klien saya sekarang sudah berada dalam program perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," ucap Dewi.

Tony Wong sendiri adalah pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat yang membongkar praktek mafia illegal logging di daerah itu pada tahun 2007. Praktek mafia ilegal logging yang merugikan negara ratusan triliun rupiah ini melibatkan cukong asal Malaysia dan sejumlah aparat penegak hukum. Kasus ini menjadi perhatian media massa nasional dan petinggi Polri hingga Presiden.

Akibat aksinya itu, Tony Wong harus menerima perlakuan kriminalisasi oleh aparat hukum yang menaruh dendam. Tony Wong dijerat pasal korupsi untuk perkara keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR).

"Ini kan perkara perdata, tapi dipaksakan masuk kasus korupsi agar Tony Wong bisa segera ditangkap," kata  Dewi.

Namun, imbuh dia, pada tanggal 26 Mei 2008 PN Ketapang memutus vonis bebas. Tapi JPU memaksa untuk Kasasi. Oleh MA kurang dari 2 bulan setelah berkas diterima, berdasarkan putusan No.1481 K/pid.Sus/2009 tanggal 21 Oktober 2008, Tony Wong divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Ditambahkan, karena perkara tersebut di PN Ketapang dibebaskan, maka aparat kepolisian kembali menangkap Tony Wong dengan perkara Ilegal logging dengan objek hukum milik orang lain.

"Mungkin teman-teman ingat, Pak Tony Wong yang baru keluar lapas Ketapang karena divonis bebas, langsung dihadiahi surat penangkapan oleh polisi. Lapas Ketapang dikepung oleh ratusan polisi agar Tony Wong tidak bisa lari," tambah Dewi.

Oleh majelis hakim PN Ketapang, Tony Wong divonis 10 bulan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat.  Namun, Mahkamah Agung lagi-lagi memvonisnya 5 tahun dan denda Rp10 juta dalam keputusan No.2280 K/Pid.Sus/2009 tanggal 29 Nopember 2010.
"Yang aneh adalah eksekusinya, Pak Tony Wong sudah menjalani hukuman pada kasus yang pertama selama 3 tahun lebih. Tepat tanggal 30 Mei 2011, tepatnya 7 jam menjelang bebas, Kejari Ketapang mengesekusi vonis perkara kedua ini. Klien kami tidak menerima salinan aslinya dari putusan MA itu, hanya berupa fotocopy fax yang bersumber dari Pengadilan Tinggi Pontianak ," jelas Dewi lagi.

"Ironisnya, sampai saat ini di website MA, Perkara No : 2280 K/Pid.Sus/2009 masih dalam status pembahasan team J. Namun, dalam petikannya sudah diputuskan 29 Nopember 2010 lalu. Jadi kami bingung, mana yang benar," tambahnya.

Setelah menjalani semua hukuman itu, terang Dewi, kini Tony Wong berupaya mendapatkan haknya untuk proses Pembebasan Bersyarat (PB). Sayangnya, kejaksaan kembali mengganjalnya dengan alasan Tony Wong masih memiliki perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 yang belum diputuskan MA.

"Klien kami juga berperkara pada tahun 2004. Dalam perkara itu JPU menuntut 4 bulan penjara, namun majelis PN Ketapang dalam putusannya melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (On Recht Van Verfolging), memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sedia kala," terang Dewi dengan panjang lebar.

Atas putusan ini, jelas Dewi, JPU mengajukan kasasi dengan Nomor Akta Kasasi 08/Akta.Pid/2004/PN. KTP dan berkas perkara tersebut telah dikirimkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang ke Mahkamah Agung RI dengan surat pengantar No: W11.D8.HN.01.10-842, tanggal 29 September 2004.

"Hingga saat ini belum ada putusan dari MA, apakah terdaftar atau tidak, juga tak jelas, anehnya perkara tsb juga tidak dapat kami temukan dari daftar 188 Perkara yang diajukan PN Ketapang ke MA dalam priode 2001-2011" tambahnya.

Kata Dewi, dengan dalih perkara inilah, Kejari tidak bersedia memberikan surat keterangan tidak ada perkara lain untuk kliennya.  ia merasa aneh, perkara tahun 2008 sudah divonis, tapi perkara tahun 2004 masih menggantung . Celakanya, daftar perkara ini tidak tercatat dalam website MA.

" Kami menduga, ada yang bermain dalam kasus ini agar klien kami tetap ditahan karena banyak pihak yang tidak nyaman akibat kasusnya dibongkar," urai Dewi.

Dewi juga menyebutkan, Kanwil Hukum dan HAM Kalbar sudah menyurati MA untuk meminta penjelasan Perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 , namun belum memperoleh jawaban resmi dari MA.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun