Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mereka yang Hidup Di Zona Gempa

16 April 2012   10:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 1012 0
Petang, 30 September 2009, bagi Herman, seorang pegawai negeri sipil di Kota Padang, Sumatera Barat, seperti mimpi buruk dan ia selalu mengingatnya dengan bergidik. Saat itu, ia sedang menyapu dan beres-beres di dapur rumahnya. Istrinya sedang keluar dengan tiga anaknya yang lain. Di rumah, hanya ada dia dan anaknya yang paling besar.

Tiba-tiba, dinding rumah bergoyang dan berderak. Perabotan rumah tangga di dapur terbanting kemana-mana. Lantai bergerak dan bergelombang, seperti ada ada ular raksasa sedang meliuk, bergerak-gerak di bawah lantai. Ia kaget bukan kepalang, pikirannya cepat menerka, gempa sedang mengguncang. Suasana makin mencekam, apalagi listrik langsung mati. Suasana dalam rumah jadi remang gelap.

Ia berteriak memanggil anaknya, yang sedang ada di tengah rumah. Anaknya berlari ke dapur. Dan ia bersembunyi di bawah meja bersama anaknya dengan tubuh gemetaran. Lantai rumah masih terus bergerak-gerak, bibirnya gemetar mengucap doa, sakratul maut serasa sudah begitu dekat.

" Saat itu saya sedang menyapu di dapur. Di rumah hanya ada saya dan anak saya yang paling besar," kata Herman, saat menuturkan kembali kisah 'horornya' pada saya.

Maret lalu, saya sempat berkunjung ke Kota Padang mengikuti kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Gamawan sendiri sebelum jadi menteri adalah Gubernur Sumatera Barat. Saat gempa terjadi, Gamawan masih menjabat sebagai gubernur. Dan, Herman kebetulan menjadi supir yang mengantar saya, selama ada di Padang.

Saat mengantar jemput itulah, Herman menceritakan kembali kisah mencekam, ketika gempa mengguncang Kota Padang, September 2009.

" Tiba-tiba, lantai yang bergelombang itu retak dan air menyembur membongkar lantai, saya panik dan ketakutan," kata Herman.

Dengan gemetar, di bawah lindungan meja, Herman dan anaknya hanya pasrah. Gempa bagi Herman, sebenarnya sudah hal biasa selama ia tinggal di Padang. Sebab sebelumnya juga sering terjadi goncangan lindu. Tapi guncangan gempa pada akhir September itu lain dari biasa, getarannya membuat ia seperti sudah di ujung maut.

" Selama saya rasakan gempa, baru kali ini saya sangat gemetaran dan takut luar biasa," katanya.

Selama gempa mengguncang, ia sudah pasrah dan hanya bisa berdoa, sambil menangis. Kematian terasa begitu sangat dekat. Sampai akhirnya, guncangan berhenti. Setelah dirasa aman, dan ia merasa yakin gempa berhenti, baru ia keluar dari meja. Lalu, setengah sadar ia bersujud, dan mendekap anaknya.

Ia tak menyangka akan selamat. Dan rumahnya tak ambruk. Padahal, selama ada di bawah meja, ia sudah pasrah bila rumah ambruk dan menimpanya.

" Ternyata, rumah saya hanya retak-retak tidak ambruk," katanya. Retakan di dinding rumah, baru ia ketahui esok harinya.

Setelah itu ia segera keluar rumah. Untung handphone ada di saku, segera ia menghubungi istrinya yang tadi pergi dengan tiga anaknya yang lain. Tapi saat dikontak, telepon genggam istrinya terus tulalit. Kecemasan kembali menyergap. Ia bahkan hampir frustasi. Sementara malam terus merambat, ia dan anaknya bersama warga yang lain berkumpul di tanah lapang dekat rumahnya, sambil berharap cemas akan nasib istri dan tiga anaknya.

Herman saat itu berkeputusan, tak mau pergi jauh dari rumahnya. Dalam pikirnya, bila pergi jauh, bagaimana kalau istrinya datang mencarinya, tentu makin sulit bisa ketemu lagi. Sambil terus merapal doa, ia berusaha mengontak telepon genggam istrinya. Jawaban tetap tulalit. Cemas makin menjadi-jadi.

" Waktu itu, istri saya sedang keluar bersama tiga anak saya lainnya, naik mobil, ada acara dengan temannya," kata dia, mengisahkan ulang cerita horor yang dialaminya saat gempa besar mengguncang Padang.

Lewat tengah malam, baru ia bisa bertemu dengan istri dan anaknya. Haru, panik dan bahagia bercampur saat ia memeluk istri dan ketiga anaknya. Ia tak percaya, semua keluarganya selamat.

Meski pernah mengalami pengalaman yang mencekam saat gempa mengguncang, Herman tak berniat pindah rumah. Ia sadar daerahnya masuk zona rawan gempa, bahkan kalau tsunami menerjang kemungkinan rumahnya bakal tersapu, karena memang cukup dekat dengan pantai. Tapi kata dia, nyawa ada ditangan Tuhan. Yang penting, katanya selalu waspada.

Setelah mendengar kisahnya, saya tercenung. Tak bisa membayangkan andai mengalami sendiri. Memang berat dan dilematis tinggal di daerah zona gempa. Apalagi guncangan gempa sulit diprediksi kapan akan terjadi.

Provinsi Sumatera Barat sendiri memang sebuah provinsi yang masuk kategori daerah rawan gempa. Gempa pada Rabu 30 September 2009, adalah salah satu gempa terbesar yang melanda provinsi berjuluk bumi Minang itu.

Saat itu, guncangan 'lindu' meluluhlantakan sebagian wilayah Sumatera Barat. Mengutip situs Wikipedia, kekuatan gempa saat itu 7,6 skala richter. Terjadi sekitar pukul 17:16:10 Wib. Gempa mengguncang beberapa kabupaten di Sumatera Barat, yaitu, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat.

Jumlah korban tewas, tercatat 6.234 orang. Korban luka berat sebanyak 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Gempa juga merusak 135.448 rumah dengan kondisi rusak berat, dan 65.380 rumah rusak sedang, sisanya 78.604 rumah rusak ringan.

Provinsi itu, memang masuk dalam zona gempa, karena berada di antara pertemuan dua lempeng benua besar yaitu lempeng eurasia dan lempeng Indo-Australia dan ada di atas patahan (sesar) Semangko.

Menurut catatan ahli 'lindu' seperti yang dikutip situs Wikipedia, wilayah Sumatera Barat memiliki siklus 200 tahunan gempa besar yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya siklus. Selain kerusakan besar dan banyak menelan korban jiwa, gempa di Sumatera Barat juga menyisakan tragedi pilu, ambruknya sebuah hotel yakni hotel Ambacang. Saat gempa, hotel itu ambruk, padahal banyak penghuni hotel yang belum sempat keluar dari hotel. Alhasil, banyak korban yang tertimbun reruntuhan bangunan hotel.

Saat saya berkunjung kesana, suasana Kota Padang sendiri sudah pulih dari dampak gempa. Sisa kerusakan akibat gempa relatif sudah tak terlihat lagi. Namun memang ada beberapa gedung yang terkena dampak gempa dibiarkan apa adanya, seperti gedung milik PLN yang ada di Kota Padang. Gedung itu, dibiarkan apa adanya. Retakan besar yang menggurat dindingnya terlihat jelas. Lantai atas gedung ambruk, menimpa lantai bawahnya. Mungkin dibiarkan begitu, sebagai sebuah prasasti untuk mengingatkan pada peristiwa gempa dahsyat, September 2009.

Di Padang, saya juga sempat berbincang dengan seorang wartawan setempat, Hendra Makmur. Kata Hendra, kini di Kota Padang telah dibuat zonasi gempa. Zonasi itu untuk menandai daerah mana saja yang paling rawan terkena dampak gempa sampai yang relatif dianggap aman. Zonasi itu juga sebagai rujukan mana wilayah yang rawan terkena tsunami dan mana yang aman. Sehingga, jika terjadi tsunami, warga bisa tahu kemana harus mencari daerah yang aman dari terjangan gelombang laut akibat gempa.

" Zona merah ya yang paling rawan, kalau tsunami pasti tersapu. Zona kuning juga zona rawan, dan zona hijau, adalah daerah aman untuk evakuasi kalau tsunami datang," katanya.

Kota Padang sendiri, memang dekat dengan laut. Karena langsung berbatasan dengan Pantai Padang. Bahkan pusat kota pun cukup dekat dengan bibir pantai. Maka, bila tsunami menerjang bisa jadi kota akan luluh lantak, seperti yang terjadi di Aceh pada 2004.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek yang juga asal Padang, mempunyai kisah lain. Kata dia, keluarganya punya sebidang tanah dan rumah yang menghadap Ngarai Sianok di Bukit Tinggi. Belakang rumah lahannya cukup luas, dan dibuat kebun. Kini, tanah kebun itu sudah tak ada lagi, amblas karena gempa yang mengguncang September 2009.

Untung, tanah tempat rumah keluarganya tak ikut amblas. " Coba kalau ikut amblas," kata dia. Saat gempa ia ada di Jakarta, dan kerabatnya yang tinggal dirumah milik keluarganya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun