Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

" Anytime Saya Bisa Telepon Presiden"

18 April 2012   12:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28 331 0
Pendapat bahwa presiden susah dihubungi, mungkin bisa benar, bisa tidak. Bagi rakyat biasa, mungkin susah bisa menghubungi langsung presiden, kapan saja. Tapi bagi seorang menteri, mungkin gampang saja menghubungi kepala pemerintahan. Karena idealnya begitu, pembantu tak sulit berkomunikasi dengan bosnya.

Saya pernah wawancara Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Kala itu, sedang ramainya diberitakan, keluhan presiden akan macetnya komunikasi dengan para pembantunya. Gamawan, sebagai pembantu presiden, saat ditanyakan soal itu membantahnya.

Kata dia, tak benar presiden sulit di hubungi para menterinya. Ia pun mengaku tak susah berkomunikasi dengan presiden. Seorang menteri yang notabene pembantu presiden, memang seharusnya menjadi orang pertama yang melaporkan satu masalah yang menjadi lingkup kerjanya.

" Kapan saja, saya telepon beliau, begitu ada hal baru atau informasi penting," kata dia, kala itu.

Gamawan juga membantah presiden sulit ditembus. Bahkan presiden begitu terbuka, bila ada pembantunya hendak menyampai satu hal."  Saya berani saja. Any time, bisa telepon presiden," kata Gamawan.

Ia pun mencontohkan tentang hal itu. Misalnya saat pemberitaan RUU Desa menghangat. Ia dengan responsif meminta waktu presiden menjelaskan hal itu. Bukan hanya isu-isu krusial yang ada dalam draft RUU Desa. Tapi isu-isu diluar RUU Desa.

"Saya responsif saja. Saya tadi minta waktu menjelaskan tentang UU Desa. Saya kasih 10 isu, diluar yang masuk RUU Desa. Beliau antusias. Saya bilang, jangan dari orang lain dulu mendengarnya, tapi  dari saya dulu," katanya.

Bahkan untuk hal-hal yang sifatnya di luar tugas teknisnya sebagai Mendagri, ia sering menyampaikan sebuah informasi. Misalnya ketika, mantan Gubernur Jambi meninggal, ia langsung memberitahu presiden.

" Beliau langsung merespon, ooh segera kirim karangan bunga. Itu contohnya, " katanya.

Saat ditanya, tentang keluhan presiden terkait lambatnya laporan masuk dari menteri, semisal ambruknya jembatan di Kutai Kartanegara, menurut Gamawan, itu adalah kritikan dari kepala pemerintahan pada para pembantunya. Ia melihat itu hanya sebuah kisah yang sifatnya kasuistis. Namun memang itu sebuah kritikan membangun, agar semua jajaran di kabinet memperbaiki diri.

Tapi dimata, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara, Eko Harry Susanto, yang saya hubungi via telepon, mengatakan, keluhan Presiden SBY, tentang buruk dan lambatnya penyampaian informasi di kabinet, menunjukan bahwa ada problem dalam alur komunikasi. Kata dia, pejabat negara, harusnya mampu menciptakan sistem komunikasi yang tak birokratis.  Serta hilangkan komunikasi asal bapak senang.

Menurutnya, keluhan presiden itu, hanya mengkonfirmasikan bahwa antara kepala pemerintahan dengan pembantunya belum ada keterbukaan.

" Ini kan menunjukan tak adanya keterbukaan. Serta sistem komunikasi yang jelas antara presiden dengan pembantunya. Harusnya kan  terbuka kepada presiden. Maupun ke menteri lain atau pejabat lain," kata Eko Harry.

Tapi, kata dia, presiden juga harus menciptakan sebuah sistem komunikasi untuk semua saluran. Baik  kepada  seluruh menteri dan lembaga pemerintahan  lainnya.

" Menteri juga harus menjunjung tinggi tugas negara dan sejalan dengan tanggung jawabnya. Kalau ada info penting, langsung sampaikan ke presiden, jangan dikemas dulu, demi kepentingan kelompoknya," katanya.

Ketika kemudian dikeluhkan komunikasi macet, dan yang mengeluhkan itu adalah presiden, kata dia, menunjukan antara kepala pemerintahan dengan pembantunya belum satu irama. Bisa jadi itu hanya mengkonfirmasi kinerja  menteri tidak total.

" Serta  tak  sensitif terhadap kepentingan informasi yang terkait dengan masalah  negara dan rakyatnya dalam lingkup tugasnya," katanya.

Hal itu juga,menunjukan, pejabat pemerintah belum mempunyai loyalitas kepada negara secara penuh. Budaya asal bapak senang masih begitu kuat menjerat.

" Pejabat kan loyalitasnya berpihak kepada  kepentingan rakyat. Bukan kepada kelompok politik yang  mendukung pejabat," katanya.

Solusinya, segera pangkas birokratisasi informasi. Bangun sistem komunikasi yang jelas, cepat dan tidak birokratis. Sehingga  yang perlu segera diketahui  presiden atau publik, bisa secepatnya disampaikan.

" Harus diakui, saat ini alur komunikasi  jelas terlalu birokratis," katanya.

Pendapat tak jauh beda diungkapkan, Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani. Menurut Andi, buruknya alur komunikasi pemerintahan, problemnya terletak pada sistem komunikasi antar pemimpin dan khususnya di istana.

" Kementerian Menkominfo sebagai tulang punggung sistem komunikasi negara tak berperan maksimal," ujarnya.

Andi juga menilai, sistem komunikasi internal di Sekneg dan Menkominfo tidak reliable dan responsif terhadap situasi negara yang  luas. Disamping itu sistem intelejen negara juga terlihat seperrti tak punya  akses langsung ke Kepala Negara.

" Hal itu  terlihat bahwa laporan-laporan  bawahan presiden lebih bersifat seremonial dan hanya menceritakan yang  baik-baik  saja," katanya.

Pada akhirnya,  presiden pun lebih mengandalkan dan bereaksi terhadap media massa,ketimbang berita- berita A1 dari sistemnya sendiri. Mungkin juga hal itu disebabkan, karena  sistemnya sendiri tak jalan.

" Untuk  itu, perlu pembenahan maksimal sistem infokom kepresidenan secara  total dengan target presiden harus  bisa mendapatkan berita paling cepat, akurat, reliable dari  sumber dan data yang  menyakinkan," ujar Andi.

Bawahan-bawahan  Presiden dan Presiden juga, kata Andi, harus  terbiasa dan terbuka dengan laporan-laporan  yang pahit dan tak selalu manis. Itu penting  agar lebih waspada dan bisa merespon perubahan dan persitiwa deng cepat dan anitisipatif.

" Sehingga tak reaksioner seperti terlihat saat ini," cetus Andi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun