Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Mang Maman, Mang Yanto dan Kang Dadang yang Saya Kagumi

16 Oktober 2011   16:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 205 0
Saya bukan ekonom. Juga bukan birokrat urusan perekonomian. Apalagi calon menteri perekonomian. Saya tukang ngopi, di warung langganan saya, warung Mang Yanto di bilangan Cipete.

Bagi saya, apa yang dipraktekan Mang Yanto, adalah cerminan ekonomi kerakyatan. Ekonomi yang menurut saya, ekonomi saling berbagi. Minim keserakahan dan monopoli. Ekonomi saling tolong menolong dan itu bagi saya lebih mencerminkan semangat gotong royong.

Bagaimana tidak, warung rokok dan kopi Mang Yanto, yang berbentuk kios gerobak, tak dimiliki olehnya sendiri. Tapi dimiliki juga tetangganya di kampung, Mang Maman Suryaman. Saya juga kenal dia.

Jadi, mereka berdua, Mang Maman dan Mang Yanto, berbagi waktu untuk menunggu warung gerobaknya. Satu bulan jatah Mang Yanto, satu bulan berikutnya bagian Mang Maman. Dengan sistem aplusan seperti itu, keduanya bisa saling berbagi rejeki, dan saling menolong.

Mang Yanto sendiri punya warung lagi di Rawamangun. Dan warung di Rawamangun pun dijalankan dengan sistem aplusan. Disana ia saling aplus dengan kerabatnya. Polanya sama satu bulan, satu bulan.

Warung mie rebus yang banyak bertebaran di Jakarta juga banyak menganut pola yang dipraktekan Mang Yanto dan Mang Maman. Warung mie rebus langganan saya misalnya yang ditungguin Kang Dadang juga mempraktekan hal yang sama. Ia saling berbagi dengan saudaranya. Sistemnya mirip dengan apa yang diperagakan Mang Yanto dan Mang Maman.

Di Yogya juga katanya demikian. Penjual nasi kucing, makanan tenar di kota tua itu mempraktekan ekonomi saling berbagi. Misalnya ada juragan nasi kucing, atau angkringan, atau gudeg lesehan, para pemasoknya kadang berbeda-beda. Contohnya, pemasok tempe bacem orangnya berbeda dengan pemasok sate telor. Intinya mereka ingin saling berbagi keuntungan atau rejeki dengan lebih banyak orang.

Lha ditingkat elit, kendati banyak didengung-dengungkan ekonomi kerakyatan, dalam praktek tak seperti itu. Alih-alih mensejahterakan ekonomi rakyat kecil, justru menggerusnya. Impor garam, beras dan lainnya, lebih diminati, ketimbang mencoba membangun swasembada sendiri. Rakyat pun terseok-seok.

Seorang kawan, memberikan analisisnya yang sederhana, mengapa pejabat pemangku kebijakan dibidang perekonomian lebih doyan impor. Misalnya kalau produk sendiri, katakanlah beras, garam atau daging merajai pasar, uang berputar di masyarakat. Ekonomi riil pun jalan.

" Tapi uang itu kan berputarnya di luar, bukan didalam kantor si pejabat," kata kawan saya itu.

Kalau impor, sudah jelas, kantor si pejabat dapat pemasukan, entah itu dari bea masuk, atau fee-fee gelap. " Kan sudah banyak diberitakan, pengusaha yang ingin dapat kuota impor daging misalnya, harus setor sana-setor sini," kata dia.

Jadi kesimpulan kawan saya ini, wajar kalau di tingkat atas lebih 'doyan' impor. Karena ada yang dinikmati.

Ah, benar salahnya saya tak tahu. Namun yang pasti, Mang Maman, Mang Yanto dan Kang Dadang lebih tahu cara mempraktekan ekonomi kerakyatan. Ekonomi saling berbagi dan saling bantu satu sama lain. Ekonomi gotong royonglah. Bagi saya, Mang Maman, Mang Yanto dan Kang Dadang, pantas untuk dikagumi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun