Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kisah Orang Kaya Malas Antri

2 April 2012   19:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:07 627 1
Sepulang dari tempat kerja di bilangan Thamrin, saya mampir dulu di warung kopi langganan saya milik Mang Maman, yang ada di bilangan Cipete. Kebetulan istri dan anak saya, Rakeyan, sedang menginap di rumah mertua, yang juga ada di daerah Cipete. Jadi tak usah jauh-jauh mengarungi jarak antara Thamrin ke Sawangan, tempat tinggal saya.

Saat mereguk kopi, tiba-tiba blackberry jadul saya berbunyi, pertanda ada pesan di layanan blackberry messenger saya. Waktu saat itu menunjukan pukul 22.00 Wib lebih, bahkan sedikit lagi memasuki pukul 23.00 Wib.

Setelah blackberry di tangan, saya buka layanan BBM saya. Di layar blacberry, terbaca sebuah pesan, ternyata dari istri saya. Isi pesannya, " Susu Rakey mau abis, tolong beli susu sama pampers,"

Perintah istri ibarat titah, apalagi ini menyangkut kebutuhan si buah hati. Usai menandaskan isi gelas kopi saya dan membayarnya ke Mang Maman, motor segera dinyalakan. Tujuan, tak lain ke minimarket yang buka 24 jam. Kebetulan di Jalan Abdul Majid, yang juga ada di daerah Cipete, ada Alfa Mart buka 24 jam. Kesana saya menuju.

Tiba disana, motor di parkir. Segera setelah itu masuk minimarket. Tak banyak pengunjung saya lihat. Saya langsung menuju rak tempat susu anak-anak. Setelah mengambil satu dus, langsung menuju rak tempat pampers dipajang. Ambil satu bungkus isi 10, setelah itu segera ke tempat kasir.

Depan kasir, sudah ada seorang ibu tua yang sudah pantas disebut nenek. Di belakangnya, seorang wanita muda. Jadi saya langsung mengantre di urutan tiga. Si nenek ternyata belum dilayani, sebab kasir masih melayani pembeli yang membayar pakai kartu gesek bank.

Sekilas saya menengok belanjaan si nenek. Belanjaannya terdiri dari tisu, obat anti nyamuk cair, sabun batangan, deterjen dan kue. Dalam pikir saya, ah tak akan lama ngantri nih, karena wanita di depan saya pun belanjaannya sedikit.

Tiba-tiba, seorang lelaki berkemeja lengan pendek dan bercelana jeans menyerobot kedepan. Tanpa banyak cingcong langsung menyorongkan keranjang berisi belanjaannya yang lumayan banyak. Terang saja si nenek marah di serobot. Terdengar ia menghardik si penyerobot.

" Mas, ngantri dong main serobot saja," kata si nenek dengan ketusnya,

Si penyerobot santai saja menjawab, " Maaf bu saya buru-buru,"

Si nenek tampak makin sewot. " Kalau buru-buru, semuanya buru. Biasakan antri dong,"

Lelaki penyerobot terdiam, tapi bukannya sadar, tapi kembali menyodorkan belanjaannya lebih dekat ke si kasir. Dan yang bikin jengkel, si kasir, mungkin karena terus di sorong-sorong akhirnya melayani juga.

Dan setelah selesai transaksi, si penyerobot segera dengan tergesa pergi ke luar. Penasaran saya tengok, ternyata ia datang pakai mobil jenis sedan yang kelihatan dari tongkrongannya seperti keluaran anyar.

Apakah ia seorang supir? Ah, rasanya bukan, karena pakaiannya terlihat bermerek, pun baju dan celana jeasnnya. Sandal kulitnya pun terlihat berharga mahal. Apalagi dia menenteng smartphone dua yang dari bentuk dan jenisnya, bukan yang harga ecek-ecek.

Kulitnya pun bersih. Jadi kalau ia supir pribadi rasanya saya kurang begitu sreg, jika melihat tampilan fisik dan aksesoris yang dipakainya.

Dalam hati saya hanya mengumpat. " Kaya, kaya kok tak tahu antri,"

Di depan si nenek mungkin belum habis jengkelnya, dan terdengar menasehati si kasir, agar jangan dilayani orang yang tak mau antri. Si nenek pantas marah dan dongkol, karena mungkin sudah cukup lama ia mengantri, tiba gilirannya ada yang menyerobot. Saya juga pasti jengkel jika sudah seperti itu. Lebih jengkel lagi yang nyerobot adalah lelaki parlente, bermobil pula.

Jika di negara maju, misal seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman atau di negara Eropa lainnya, aksi serobot antrian pastinya jarang terjadi. Karena di sana, budaya taat aturan sudah seperti jadi menu sehari-hari. Termasuk soal budaya taat antrian, yang kelihatannya sepele.

Bahkan, tak usah jauh-jauh mencari contoh sampai ke negeri uncle sam segala, bila ingin tahu bagaimana budaya taat hukum di praktekan dan seakan sudah menjadi menu dari runititas sehari-hari. Di negeri tetangga kita, Singapura misalnya, budaya taat hukumnya sudah begitu kuat merasuk pada keseharian masyarakat.

Mulai dari budaya peduli akan kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya, sampai yang terkecil rapi dalam mengantri. Tapi di sini, di tanah air, ah sepertinya masih jauh panggang dari api. Masih jauh dari tanah ke langit bila ingin disejajarkan dengan negeri singa. Budaya taat hukum di tanah masih rendah, setidaknya dari yang saya lihat dan alami.

Soal sepele saja kita tak taat, apalagi bila terkait soal yang besar dan ada duitnye. Budaya menerabas aturan seperti sudah biasa, mulai dari soal yang sepele hingga ke hal yang besar.

Lihat saja, betapa mubazirnya rambu-rambu lalu lintas, misal larangan parkir atau berhenti yang banyak terpasang di pinggir jalan. Karena walau sudah jelas di depan jidat ada larang parkir, toh banyak bus atau kendaraan dengan enaknya ngetem atau berhenti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun