Kisah kepahlawanan tokoh kharismatis ini terus diceritakan turun temurun dari mulut ke mulut. Bukan hanya di tanah kelahirannya di Rosario, Argentina, namun terus menyebar ke sekujur bumi, mulai dari pengayuh Gondola di Venice, sampai penyanyi punk di sudut pertokoan Dago di Bandung, Indonesia.
Guevara tersohor lantaran menyerukan revolusi yang permanen, revolusi yang menyentuh semua batas. Hampir dari separuh hidupnya, Guevara membaktikan diri untuk perjuangan yang dianggapnya sebagai pembebasan demi kebangkitan gerakan revolusioner di Amerika Latin.
Ernesto Guevara de la Serna, demikian nama lengkapnya, lahir pada 14 Mei 1928 dari sebuah keluarga kelas menengah di Rosario, kota terpenting kedua Argentina setelah Buenos Aires. Guevara lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna.
Bertualang dengan ‘Moge’ Jiwa revolusioner Guevara mulai terpupuk ketika pada 1949 ia melakukan perjalanan panjang menjelajahi Argentina Utara dengan bersepeda motor.
“Saya ingin melihat banyak hal. Saya akan melakukan perjalanan mengelilingi Argentina, saya kan kembali dalam waktu tiga bulan, saat sekolah dimulai,” kata dia pada ayahnya sebelum ia melakukan perjalanan.
Sang ayah yang sebetulnya keturunan bangsawan bukannya melarang, malah amat mendukung tekad Guevara.
“Saya selalu mengizinkan untuk melakukan penelitian, penggalian, dan berusaha menemukan banyak hal untuk dirinya sendiri, sehingga dia bisa menjadi seorang laki-laki,” kata sang ayah dengan bijak, seperti yang dikutip dari buku Mi Hijo el Che (Che Anakku) karya Ernesto Guevara Lynch.
Itulah untuk pertama kali Guevara bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Dengan umur yang begitu belia, jiwa penjelajahan, dan rasa ingin tahu dalam diri Guevara berkembang. Penjelajahan Guevara nantinya akan sangat berpengaruh bagi karakter perjuangannya.
Dari perjalanan itu, Guevara banyak bergaul dengan petani, dan tak sungkan membantu memanen hasil ladang mereka. Tidaklah heran bila di kemudian hari, Guevara acap mengidentikkan dirinya pada kaum tertindas. Kendati ia sempat mengecap bangku kuliah di bidang kedokteran di Universiti Buenos Aires pada 1948, tapi agaknya Guevara lebih doyan bertualang ketimbang mementingkan pendidikannya.
Dan tiga tahun setelah penjelajahan di Argentina Utara, Guevara mengelilingi Amerika Latin menunggangi moge (motor gede) bersama sahabatnya Alberto Granado. Perjalanan yang berlangsung sejak Januari sampai Juli 1952 itu diawali dengan mengunjungi Peru, Kolombia, lantas Venezuela.
Di Peru ia bekerja di koloni penderita kusta, ilmu yang ia kuasai dari fakultas kedokteran tempat ia pernah kuliah. Ia bekerja beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, Peru. Guevara juga bertemu Salvador Allende. Di Venezuela bernasib apes. Ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali.
Guevara pun sempat mengunjungi Miami, kota tempat bermukimnya imigran asal Kuba. Guevara mengisahkan perjalanannya yang dramatis dan romantis tersebut dalam buku harian yang kelak dibukukan dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries).
Saat revolusi nasional pecah di Argentina, Guevara hijrah ke La Paz, Bolivia. Namun ia dicurigai sebagai oportunis oleh kalangan revolusioner Bolivia karena ketidakjelasan prinsip politiknya. Guevara memutuskan hengkang dari Bolivia dan melanjutkan perjalanan ke Guatemala yang ketika itu dipimpin Jacobs Arbens. Sedikit demi sedikit, Guevara membangun keyakinannya berdasarkan Marxisme dan sosialisme.
Meskipun begitu Guevara ogah bergabung dalam Partai Komunis. Di Guatemala, Guevara tinggal bersama Hilda Gadea, aktivis penganut paham Marxis keturunan Indian. Lewat Hilda, Guevara diperkenalkan kepada Nico Lopez, salah satu letnan dari kelompok Fidel Castro (kelak menjadi pemimpin Kuba), revolusioner Kuba yang tinggal di pengasingan.
Sedikit banyak Guevara berpartisipasi dalam memajukan revolusi Guatemala. Memang situasi politik di Guatemala saat itu sedang naik turun. Aksi nasionalisasi perusahaan United Fruit Company (UFC) yang dilakukan pemerintah Arbens menyebabkan reaksi balik dari perusahaan Amerika Serikat tersebut. UFC merekrut serdadu bayaran yang dilatih CIA, pimpinan Kolonel Carlos Castillo Armas.
Pasukan ini menyerbu jantung ibu kota Guatemala. Pecahlah konflik antara pasukan pemerintah Jacobs Arbens dengan tentara sewaan UFC. Di situlah paradigma Guevara tentang AS terbentuk. Ia menganggap agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan ia semakin yakin, bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Hijrah ke Mexico Akhirnya pada 27 Juni Presiden Jacobs Arbenz meletakkan jabatan. Dengan kata lain “kudeta” tentara bayaran pimpinan Armas yang dibekingi CIA berhasil memaksanya turun dari tampuk kepemimpinan.
Pada Agustus di tahun yang sama tentara bayaran itu memasuki Guatemala City dan membantai pendukung rezim Arbenz. Melihat situasi yang semakin buruk dan membahayakan posisinya, Guevara meminta perlindungan politik ke Kedutaan Besar Argentina, lantaran ia sendiri masih tercatat sebagai warga negara Argentina.
Setahun selepas Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Mexico City. Di sini ia meretas jalan sebagai pejuang revolusioner, dan bertemu kembali dengan Nico Lopez, yang kebetulan tengah berada di Negeri Sombrero tersebut. Lopez mempertemukan Guevara dengan Raul Castro, adik kandung Fidel Castro. Pertemuan ini menjadi titik balik kehidupan Guevara sebagai gerilyawan revolusioner.
Nun jauh di sana, beberapa ribu kilometer dari Guatemala, Fidel Castro beserta para pejuang Moncada yang masih hidup dibebaskan dari bui oleh pemerintah Kuba pada pertengahan Juni 1955, lantaran tekanan publik yang gencar. Tiga pekan kemudian, Castro tiba di Meksiko dengan tujuan mengorganisir ekspedisi bersenjata ke Kuba.
Castro merasa situasi Kuba tidak memungkinkan untuk membangun basis perlawanan, apalagi rezim Batista yang saat itu berkuasa di Kuba masih terlalu kuat. Sekitar Juli-Agustus Guevara bertemu Castro. Guevara pun turut bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba ini dilatih perang gerilya secara profesional dan spartan oleh Alberto Bayo, serdadu berpangkat kapten dari Spanyol.
Guevara selanjutnya terlibat dalam latihan perang gerilya, sehingga pejuang Kuba menggelarinya “Che” sebutan salam khas Argentina. Pertemuannya dengan Fidel Castro dan juga para emigran politik lainnya, membuat Guevara sadar bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.
Pemimpin yang mempunyai daya revolusioner dalam semangat dan perlawanannya. “ ....ketika sosialisme masih berupa benih, manusia adalah faktor dasar. Kami percaya penuh kepadanya—seorang individu, khusus dengan nama lengkapnya, Fidel Castro....,” kata Guevara pada suatu ketika dalam salah satu tulisannya.
Pertemuan ini, kemudian dicatat sejarah sebagai awal terjalinnya duet pejuang revolusi Amerika Latin yang berpijak pada Marxisme. Che dan Castro ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam satu tautan ideologi, sosialisme dan Marxisme. Ketika Castro dan pengikutnya menyerbu Kuba pada Juni 1956, Guevara awalnya hanya diikutkan sebagai dokter, namun kemudian ia didaulat sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos.
Che Guevara dianggap tokoh yang paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dalam menyusupkan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga orang yang berdisiplin, dan tidak sungkan menembak prajurit yang ceroboh. Di arena ini ia meraih reputasi atas kekejamannya ketika dengan dingin mengeksekusi para pendukung fanatik Presiden Batista yang terguling.
Ketika revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba, yang bertanggung jawab menggiring Castro menuju komunisme merdeka bukan lagi komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya.
Pada 1965, Guevara meninggalkan Kuba untuk terlibat ldalam perjuangan revolusioner internasional. Ia mengembara sampai ke Afrika dan akhirnya ikut berperang di Kongo. Setahun berselang, Guevara masuk ke Bolivia, sekali lagi dengan gagasan mengorganisir pemberontakan dan berharap menjatuhkan pemerintahan militer Bolivia yang pro AS dan memasang pemerintahan komunis di sana.
Namun nasib berkata lain. Pada 8 Oktober 1965 di dekat Vallegrande, Guevara tertangkap oleh pihak militer Bolivia. Atas perintah Presiden Bolivia Barrientos, Che dieksekusi mati. Selepas kematiannya, sosok Guevara bukannya tenggelam, malah figurnya semakin kuat, dan menjadi simbol perlawanan terhadap praktik penindasan sistem kapitalis yang dikuasai Barat. Bung Che memang telah menjadi nisan. Namun, nama, jejak dan semangatnya sampai sekarang masih hidup.
(Di sarikan dari berbagai sumber)